banner 728x90

Reuni SIWO se-dunia 2022!

Reuni SIWO se-dunia 2022!
Logo PWI

Ia menceritakan awal berdirinya Seksi Wartawan Olahraga (Siwo) pada 1966 yang diprakarsai Sondang Meliala, Eddy Sihombing, Ardy Syarif dan beberapa lainnya.
Hebatnya, ketika itu Siwo Jaya lahir sebelum ada Siwo Pusat, bahkan lahir sebelum ada KONI.

Kebutuhan wadah organisasi profesi ini, bukan saja untuk kepentingan tugas jurnalistik, tapi mencakup hal yang lebih luas lagi, bukan sekedar menjadi peliput belaka, melainkan memiliki peran dalam pembinaan olahraga di tanah air.

Cerita Bang Norman Chaniago itu amat menarik, karena ini merupakan tonggak sejarah dan pantas diketahui para anggota yunior Siwo yang kiprahnya sudah berbeda di jaman canggih serba digital ini.

“Wartawan sepuh pelaku sejarah berdirinya Siwo Jaya itu kini tinggal beberapa orang. Di antaranya saya, Lukman Setiawan dari harian KAMI pindah ke Tempo dan Bisnis Indonesia, kemudian Th Budi Susilo dari Kompas. Budi bermukim di Australia,” kata Norman yang kini sudah tidak punya gigi itu.

“Haha..saya sudah tidak punya gigi lagi. Habis semua. Ibarat mobil saya ini sekarang sudah menjadi matik, tanpa gigi,” kata Bang Norman, yang ingatannya masih tajam. Bang Norman dulu wartawan Olympic, PAB dan Prioritas dan katanya nomor kartu pers PWI DKInya bernomor 122.

Apa rahasia usia panjang Bang?

“Jangan urusi urusan orang. Dan saya tidak merokok sejak dulu,” kata Bang Norman, yang menurut teman, jaman dulunya suka usil dan “ngerjain” orang.

Acara semakin meriah ketika memasuki sesi senandung dan pembagian door-prize. Ada sembilan barang rumah tangga yang akan dibagikan serta dua cash money prize spontan dari ketua PWI Jaya, karena tak sempat beli barang. Penarikan undian dan penyerahan hadiah ini, diselingi dengan nyanyian.

Raja Pane menyenandungkan Rumah Kita, Hendry Ch Bangun nyanyi Pelangi di Matamu, Rajab Ritonga melantunkan Sai Anju Ma Au dan Ian Situmorang bersama Prayan Purba, Rajab dan lannya mendendangkan Situmorang sembari manortor. Jimmy S Hariyanto dan Adhi Wargono lupa nyanyi apa, ditutup dengan Kemesraan bersama semua yang hadir sembari bergandengan tangan. Suasana terasa sahdu.

“Bagus ya suara Bang Raja,” seorang teman nyelutuk dan ada jawaban, “Ya, dia sudah pernah masuk dapur rekaman”. Luthfie yang amat kocak sebagai MC pun berkomentar, “Tak nyangka Bang Hendry Bangun bisa nyanyi.” Hendry baru saja melepas jabatannya sebagai wakil ketua Dewan Pers.

Luthfie pada awal acara bercanda mengatakan, “Tadinya saya pikir biarlah sembilan orang yang datang, agar door-prize itu kita bagi saja, tanpa diundi.” Pasalnya, hingga siang ruangan masih sepi, padahal undangannya pukul 09.00 WIB.

Melepas rindu

Tampaknya rindu belum lepas, terbukti ketika acara sudah ditutup lewat dari pukul dua siang, masih ada saja yang masih ngumpul, di antaranya Ian Situmorang, Adhi Wargono, Prayan Purba, Zulfirman Tanjung, Hendry Ch Bangun , Luthfie, Raja Pane dan beberapa lainnya.

Kopi dan teh pun disedu lagi. Pembicaraan berlanjut dari satu topik ke topik lain. Tentang pengalaman awal sebagai wartawan, diplonco para senior sehingga berita pada salah, tentang ngerinya masa pandemi, sampai pada inti paling dalam di kehidupan ini.

Apa inti paling dalam di kehidupan ini? Inti kehidupan ini adalah stasiun akhir perjalanan di dunia, yaitu kematian. Sampai pada cerita ini, semua seolah merenung, saling pandang dan menarik nafas dalam.

Ian Situmorang berkisah tentang puteranya yang meninggal karena sakit, Hendry Bangun kehilangan isteri tercinta, Bang Sam kehilangan putera tersayang, Mas Adhi Wargono kehilangan isterinya dua kali (setelah isteri pertama meninggal, ia nikah lagi dan beberapa tahun kemudian isteri tercinta meninggal pula karena sakit). Ah, kami kembali saling pandang, sebelum akhirnya bersalaman dan pulang.

Inilah perjalanan hidup dan semua orang pasti melalui dan mengalaminya. Dalam silaturahim atau reuni Siwo Jaya sedunia 2022, kita bertemu, kita berbincang saling membuka diri. Kita butuh berbicara, bertemu teman lama, karena hakikat hidup adalah berbicara, untuk menghindari kesunyian yang memilukan.

Kata Chairil Anwar: Tuhanku // di pintuMu aku mengetuk // Aku tidak bisa berpaling. (Catatan A.R. Loebis)