Kini, Nuim mengaku sangat gembira, di Melbourne sudah dibangun banyak masjid. Tercatat sekitar 56 Masjid. ” Waktu tahun-tahun pertama di sini, tidak ada tempat untuk Salat Jumat di Melbourne. Cukup lama warga Muslim melaksanakan Salat Jumat pada hari Minggu di lapangan terbuka ( taman). ” Karena cuma hari itu yang diizinkan, selain jemaahnya juga pada hari Jumat masih bekerja,” paparnya.
Setelah pensiun Nuim memilih tetap tinggal di Melbourne. Kenapa tak pulang ke Tanah Air? Jawabannya begini, “Kalau orang Medan mengatakan tempat jauh lagi dikenang, ini kan pula tempat bermain,” katanya.
Nuim terus terang mengaku dia berat meninggalkan Melbourne.”Ketika masih kerja di RASI, saya bayar pajak lebih dari AU$ 30.000 per tahun ( Rp.320 juta). Jadi saya ikut membantu pemerintah [Australia],” katanya.
Kini setelah tak bekerja lagi, Nuim merasa giliran pemerintah Australia membantunya, karena sebagian pengeluarannya ditanggung oleh pemerintah Australia. Masa awal pandemi Covid-19, Nuim juga mendapat santunan uang dari Pemerintah Australia.
Heboh Syamsul Nursalim
Meskipun sudah lama mengenal nama dan kiprahnya, tapi pertemuan saya dengan Nuim secara fisik baru dua kali. Yang pertama, tiga tahun lalu. Waktu Salat Idul Adha 1440 H/2019 di Gedung Konsulat Jenderal RI di Melbourne. Nuim menjadi Imam dan Khatib Salat Ied waktu itu. Saya tertarik mewawancarainya karena kebetulan wartawan senior Marah Sakti baru saja menurunkan tulisan di “Ceknricek.com” berjudul “Kasus SKL-BLBI Dan Kesaksian Yang Menyudutkan Megawati” (7 September 2018).
Dalam tulisan itu nama Nuim Khaiyath disebut sebagai sosok yang memberi kesaksian mengenai keberadaan buron pengemplang BLBI 37 T Syamsul Nursalim di Melbourne. Padahal, seharusnya yang bersangkutan menghadiri sidang pengadilan di Tanah Air.
Nuim mengetahui Syamsul Nursalim berada di Melbourne untuk bertemu Taufiq Kiemas dan Puan Maharani. Nuim menyoal itu. “Jarak Singapura (tempat Syamsul Nursalim bersembunyi) dengan Jakarta hanya butuh satu jam penerbangan. Tapi Syamsul yang mengaku sakit bisa terbang ke Australia yang berjarak 8 jam penerbangan,” kata Nuim.
Apalagi tidak lama setelah pertemuan itu pemerintah RI pun menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk Syamsul Nursalim. Kejadian tahun 2002 itulah yang diungkit kembali dalam tulisan Marah Sakti berdasar kesaksian Nuim.
Bagaimana kelanjutan kisah itu?
“Tidak ada. Senyap aja. Tidak ada folllow up. Sumber saya yang mengetahui peristiwa pertemuan di Hotel Hyatt Melbourne itu, sangat ketakutan. Dia langsung pindah tempat pekerjaan,” ungkapnya.
Menurut Nuim cerita itu ditanyakan juga waktu dia diwawancarai Radio Rasil Jakarta, Senin pagi kemarin.
Nuim sudah lebih setengah abad tinggal di Melbourne. Namun dia mengaku tetap mempertahankan kewarganegaraan RI nya. Tahun 2020 sebelum pandemi dia pulang ke Medan. Dia berniat tinggal di kampung halamannya untuk masa sebulan. Pandemi Covid-19 kemudian merebak di seluruh dunia. Ia baru menikmati 10 hari liburan di Medan saat dia memutuskan segera kembali ke Melbourne.
// Sabtu Gembira //
Jabatan terakhir Nuim Di ABC adalah Kepala Siaran Bahasa Indonesia di Radio Australia (RASI). Acaranya yang populer adalah Sabtu Gembira (SAMBA), yang dibawakan dalam logat Melayu Medan. Acara tersebut disiarkan pula oleh Radio Delta FM setiap hari Sabtu pagi.
Acara lain yang diasuhnya di RASI adalah PERSPEKTIF, dan Dunia Olahraga. Selain itu dia juga tampil dalam siaran life 105.8 FM Jakarta, setiap Senin pagi dalam acara Postcard from Melbourne. Pengetahuannya yang luas membuatnya sangat populer di kalangan pendengar radio tersebut, sehingga ia mendapat julukan “Kamus Berjalan”.
Aktivitas rutin yang dilakukannya di luar siaran radio adalah menulis esai, berenang, dan membaca. Sejak tiga tahun lalu, esainya banyak disiarkan di Ceknricek.com. Nuim telah menerbitkan sebuah buku baru “Dunia Di Mata Nuim Khaiyath”.
“Titip salam buat Bang Nuim, ” pesan Marah Sakti ketika tahu saya bertemu dengan Nuim.
” Wow. Itu penyiar idola aku. Pernah sama-sama jadi penyiar di Radio Delta,” timpal Rita Sri Hastuti, pengurus PWI Pusat dan anggota Lembaga Sensor Film di Indonesia, di WAG warga PWI.
Sayang, pesan itu disampaikan tiga jam setelah kami pisah dengan Nuim Khaiyath. Mudah-mudahan dia membalas setelah membaca ini.
Melbourne 24 Mei 2022.