Puasa Orang Pinggiran Membangkitkan Sinyal Sosial Multi Talenta

Puasa Orang Pinggiran Membangkitkan Sinyal Sosial Multi Talenta
HS. Makin Rahmat

Oleh : HS. Makin Rahmat (Jurnalis/Pembimbing Umroh & Haji)

KETIKA Baginda Rasulullah shalallahu alaihi wassalam (SAW) menanyakan kepada para sahabat, mengapa sekelompok orang Yahudi terlihat dalam kegirangan dan saat ditanya sedang mensyukuri kemenangan Nabi Musa Kalamullah Alaihi Salam (AS) menghadapi Raja Fir’aun dengan berpuasa, maka Nabi menyerukan: “Bahwa kami yang lebih berhak, dari mereka!”.

Bagi penulis, dialog singkat yang akhirnya memberikan anjuran kepada para sahabat hingga umat baginda Rasulullah SAW untuk melaksanakan puasa sunnah di bulan Muharram, hari kesembilan (Tasu’a) dan sepuluh (Asyura) atau dilanjutkan hari kesebelas, merupakan wujud komitmen luar biasa yang dicontohkan Rasulullah tentang keunggulan dan keutamaan puasa.
Tidak terkecuali puasa di bulan suci Ramadan.

Di hadapan Allah Subhanallah wata’ala (SWT), selain menjadi perintah wajib bagi hambaNya yang beriman, puasa Ramadan memiliki keistimewaan yang sangat luar biasa dibandingkan dengan ibadah wajib lainnya, sebagai bulan Al-Quran (Syahrul Qur’an) dan diturunkannya Lailatur Qadar (malam yang lebih mulia dari seribu bulan).

Tentu dimensi kefaedahan mempunyai kadar dan fungsi mengikat dalam kaitan keyakinan keimanan dan rukun Islam. Syarat mutlak, bagi seseorang berpuasa merupakan undangan dari Allah SWT kepada hambaNya yang beriman dengan asumsi sudah bersaksi dan berucap dua kalimat syahadat: “Asyhadu-Allah ilahailallah, wa Asyhaduanna Muhammadar Rasulullah.”
Kunci ikrar bersyahadat bagian pondasi rukun Islam dan menjadi amalan shalat sebagai tiang agama dan zakat sebagai tuntutan mengembalikan sebagian hak yang dimiliki Allah Azzawajalla Ar-Riziq untuk berbagi kepada fakir-miskin.

Begitu pula, rukun Islam kelima, melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu, adalah bentuk panggilan Allah, melalui wasilah baginda Rasulullah SAW dan nabiyullah Ibrahim al-Khalilullah AS. Mengapa, puasa begitu luar biasa? Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS (Quran Surah) al-Baqarah ayat 183; “Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kamu untuk berpuasa (Ramadan) sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kamu, supaya kamu bertakwa.”

Tentu, asbabun nuzul dari turunnya perintah puasa Ramadan, bukan sekedar anjuran semata. Ada nilai-nilai spirituil yang harus terus digali dan dipelajari dalam konteks menghamba kepada Allah dan memuliakan hambaNya dalam kaitan hubungan dengan Allah (Hablum minallah) dan hubungan dengan manusia (Hablum minannas) serta makhluk sebagai pemimpin (khalifah) di bumi. Inilah rentetan panjang yang memerlukan kajian mendalam dalam hakekat untuk bisa mensyukuri atas nikmat Allah dalam kaitan amaliyah berpuasa.

Kembali kepada QS al-Baqarah 183-184, tentang perintah dan permasalahan puasa. Secara garis besar, umat-umat sebelum Rasulullah, juga ada tuntutan untuk berpuasa, sebagaimana orang Yahudi berpuasa sebagai bentuk syukur atas kemenangan Musa terhadap kebiadaban raja Fir’aun. Ada puasa di era Nabi Daud AS, dengan sehari puasa sehari tidak, kemudian puasa tengah bulan atau dikenal dengan yaumul bidh (13-14-15) dan puasa di bulan Muharram (9-10-11) sebagai pembeda dengan kaum Yahudi. Atau puasa Senin-Kamis wujud kristalisasi kelahiran Baginda Rasulullah di hari Senin, dan diangkatnya amalan rutin di hari Senin-Kamis ketika sedang berpuasa.

Jika ditelusuri lebih jauh, dari sejarah-sejarah kenabian, bulan Muharram merupakan proses ujian dan kelulusan para kekasih Allah. Dari tafsir Ibnu Katsir, puasa mengandung makna penyucian, pembersihan dan penjernihan diri dari kebiasaan-kebiasaan jelek dan akhlak tercela.