Ketum PWI “Dalang” “Rakyat Merdeka” Margiono Berpulang

Ketum PWI “Dalang” “Rakyat Merdeka” Margiono Berpulang

Oleh : Djoko Tetuko

Haji Margiono telah berpulang ke rahmatullah Selasa (1/2/2021) atau 8 hari sebelum peringatan” Hari Pers Nasional. Pasti banyak kenangan dalam menenun sejarah perjalanan sang Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia periode 2008-2018, ketika tiba-tiba menerobos kursi tertinggi organisasi wartawan paling tua pada Kongres di Aceh.

Margiono sejak saya bergabung di JP tahun 90 an ketika itu sudah mendapat amanat sebagai Pemimpin Redaksi, sebagai generasi awal Jawa Pos setelah era Dahlan Iskan memimpin koran daerah rasa nasional dengan berbagai sentuhan ke Surabayaan.

Pak MG biasa kami memanggil di JP sangat dekat dengan (almarhum) Sholihin Hidayat karena sama-sama membesarkan JP dengan keliling Surabaya naik motor Yamaha 80, juga karena sentuhan pemberitaan politik dan kenakalan berita-berita jenaka “Opo Maneh”, “Bondet”, dan pemberitaan dengan mendekatkan dengan kalangan ahli Nahdliyin juga merangkul kalangan Tionghoa yang ketika itu masih “miskin” informasi.

Walaupun JP ketika itu sudah menjadi raksasa baru, kemudian membuka perwakilan lebih mentereng di Jakarta mulai dari Jl Setiabudi sampai Prapanca Jakarta, nama MG sama sekali belum masuk salah satu nominasi tokoh nasional. Bahkan tidak ada yang melirik.

Tetapi sejalan dengan perubahan jaman, MG lulusan IKIP Negeri Surabaya dengan kemampuan pandai menjadi dalang, maka mulai memainkan peran sebagai “dalang” di ibu kota dengan tetap bersahaja, tidak pamer ini itu, berjalan saja seperti tidak punya apa-apa, dan tidak berhasrat meraih apa-apa, juga tidak ingin merebut apa-apa.

Ketika JP menyebarkan kekuatan sayap ke Jakarta dan mampu memberikan kesan sebagai media nasional dengan Graha Pena sekaligus mengubah nama menjadi “Indo Pos” (khusus penerbitan Jakarta), semua memang berjalan sebagaimana mestinya.

“Dalang” MG memainkan peran sebagai wartawan sejati, sebagai dalang tidak hanya di pementasan, sebagai pengatur laku dan lakon dalam babakan setiap penampilan. Tetapi begitu piawai mewujudkan dalam khazanah perubahan karya jurnalistik era Reformasi.

MG mengawal kemerdekaan pers ketika pers baru saja merdeka dengan porak poranda kerajaan pemerintahan, menemukan celah dengan menerbitkan “Rakyat Merdeka”, dan koran ini bukan sekedar nama. Tetapi mampu dengan piawai menjalankan fungsi pers sebagai kontrol sosial dengan judul-judul ala dalang.

MG dengan Rakyat Merdeka memberikan warna berbeda pada karya jurnalistik pada musim “kemerdekaan pers” dibuka (sementara), tentu saja semua dengan memainkan “dalang” seperti menggelar setiap pertunjukkan. Menejemen MG mewarnai Rakyat Merdeka bukan sekedar nama, namun memberi informasi kepada rakyat bahwa rakyat memang wajib mendapat kemerdekaan informasi. Dan karya Rakyat Merdeka setiap hari menjadi perhatian publik hingga pejabat negara.

MG dan Rakyat Merdeka bagai dua sisi mata uang, tetapi dengan rendah hati putra asli Tulungagung itu berjalan dengan karya jurnalistik gaya khas Rakyat Merdeka, model Ki Dalang MG. Sehingga ketika mendapat penobatan sebagai Ketua Umum PWI Pusat hanya sebentar saja mengagetkan selebihnya semua berjalan sebagaimana mestinya.

*Kongres Aceh*

MG ketika Kongres PWI di Aceh tahun 2008 tidak masuk bursa calon Ketua Umum, setelah Tarman Azam lengser dan tidak mungkin melanjutkan kepemimpinan ketiga kali karena aturan organisasi. Sementara Wina Armada Soekardi ibarat tim sepakbola sedang dalam suasana koordinasi antar lini kurang padu dengan Ketua Umum PWI Tarman Azam.