Pertarungan dan perebutan jabatan Ketua Umum muncul nama-nama Kamsul Hasan (Ketua PWI DKI Jakarta) seperti ketika Tarman dari DKI Jakarta ke pusat mengabaikan Sofyan Loebis. Tetapi dukungan tidak bulat, bahkan masih dibandingkan dengan Sekretaris PWI Jakarta. Ada nama Dhimam Abror Djuraid (Ketua PWI Jatim) dengan harapan mendapat dukungan dari JP Grup yang sudah mulai menanamkan suara di hampir seluruh provinsi.
Riak-riak kecil menjelang Kongres PWI Aceh, ternyata hanya kampanye dan gebyar di luar ring sebelum pertarungan sesunggunya. Karena di luar dugaan tokoh pers dari Makasar Haji Alwi Hamu refresentatif wakil Dahlan Iskan mengusung nama Margiono.
Suasana kongres seperti dihipnotis suara mengalir ke Margiono dengan dukungan peserta kongres dari berbagai daerah, termasuk DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat yang menyiapkan bakal calon ketua hanya ramai di depan saja, selanjutnya Margiono melenggang menduduki jabatan Ketua Umum PWI Pusat.
MG dengan gaya khas dan penampilan tidak berubah, santai bersahaja, rendah hati, tetap “mendalang”, tetap nakal, tetap memerdekan rakyat, tetap tidak suka protokoler, tetap tidak sudah diatur-atur, mampu menakhodai PWI Pusat dua periode dengan selamat, sukses, dan surplus total.
Tentu MG juga tidak berubah memberikan warna karya jurnalistik di Rakyat Merdeka sehingga rakyat benar-benar melek kemerdekaan. Bukan pura-pura merdeka yang sejatinya hanya palsu-palsu belaka.
*Gugurkan Pengabdi di Tanah Kelahiran*
MG dengan kebehasilan menjadi “dalang” menerbitkan koran Rakyat Merdeka sukseskan membuat “rakyat benar-benar merdeka” informasi. Tentu dengan sederetan ketidakpuasan dari pemerintah dan penguasa, sehiggga memakan korban wartawan-wartawan hebat yang selalu mengangkat martabat dan derajat rakyat, harus keluar masuk persidangan serta merasakan penjara karena karya.
MG selama memimpin PWI Pusat dengan gaya khas, dengan kebiasaan khas, dengan pidato khas, pada era reformasi mampu mengangkat kembali derajat PWI menjadi lebih egaliter. PWI sebagai stempel organisasi sisa kekuatan Orde Baru menjadi berjalan mengikuti jaman bahkan berlari di depan jaman.
Terakhir pada saat HPN di Padang 2018, Presiden Joko Widodo sampai memainkan drama di tengah-tengah sambutan, dimana ketika itu menunjuk wartawan senior Yousri Nur Radjaagan menjadi “Presiden” dan menanyakan kalau menulis koran atau media apa yang paling tidak disuka, maka dengan spontan Yousri menjawab “Rakyat Merdeka”.
MG dengan ketokohan sebagai wartawan nasional, disengani dan dihormati karena tetap rendah hati dan apa adanya. Ketika menerima amanat dari hampir seluruh partai untuk menjadi calon Bupati Tulungagung, tanah tempat kelahiran, melawan satu lawan dari PDIP, ditakdirkan gagal meraih kemenangan sekaligus gagal mengabdikan diri ke tanah kelahiran. Tetapi itulah ketetapan Ilahi Robbi menguburkan kewajiban mengabdikan MG di tanah kelahiran.
Walaupun kalkulasi politik, walaupun kepiawian menjadi dalang, bahkan menjadi khotbah sholat Jumat sudah dibuka oleh Allah SWT. Tetapi diselamatkan dengan tidak diberi amanat menjadi Bupati Tulungagung.
MG masih seperti dulu tetap saja rendah hati dan menggunakan kostum seperti itu-itu saja, tidak pernah membuat suasana menjadi berbeda dengan gaya khas sederhananya. Dan dengan sederhana pula Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggil dengan takdir melalui proses sakit lebih dahulu.
MG sebagai dalang sesungguhnya maupun “dalang” menjaga kemedekaan pers dengan koran Rakyat Merdeka mampu memerdekan rakyat, dengan informasi sesungguhnya, mampu menyejukkan semua insan pers, mampu membuat perubahan jaman. Dan kini sudah dipanggil kembali ke alam kubur. Semoga karya jurnalistik gaya sederhana MG masih mampu bertahan di antara kekuasaan para jutaan. Selamat jalan pak MG. Innalillahi wa Innailaihi roji’un. (*)