Oleh : HS. Makin Rahmat
ERUPSI gunung Semeru, gempa, angin topan, tsunami dan berbagai musibah yang sporadis mengintai negeri ini, menurut saya masih kalah dahsyat dengan peristiwa operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK, Polri, dan Kejaksaan untuk membongkar adanya mafia hukum dan penyimpangan prilaku dari oknum penegak hukum.
Bagi saya, keadilan dipegang oleh aparat amanah, patut pada sumpah dan tidak takut miskin lebih terhormat dan memberikan rasa nyaman, aman, dan tenteram bagi umat pencari keadilan. Apakah, kondisi keadilan di negeri ini sudah darurat. Tentu para penegak hukum sendiri yang lebih memahami.
Sering muncul pemikiran, bagaimana standar seorang hakim, jaksa, polisi, advokat dan profesi yang diemban sebagai aparat, bila dalam pelaksanaan tugas melakukan pelanggaran? Apakah cukup diadili atas perbuatannya, sanksi sesuai kode etik profesi atau menghukum membebaskan tugaskan dari penegak hukum yang telah melekat serta terikat oleh sumpah dan perundang-undangan.
Mengapa OTT menjadi penting sebagai pengingat bahwa ada ruang sangat terbuka dalam mengawal keadilan itu sendiri. Proses panjang dari seorang hakim sebagai pengadil, jaksa selaku penuntut dan polisi meramu kasus untuk memenuhi unsur serta advokat sebagai laywer yang mendampingi tersangka atau korban, bagian episode mengawal keadilan, untuk meluruskan atau membelokkan hukum.
Kalau di kepolisian saja diduga sudah bisa ‘digoreng’ menjauhi atau memuluskan dari dua unsur barang bukti untuk menjadi perkara ke level penyidikan, tentu di kejaksaan juga bisa bargaining pasal-pasal yang akan didakwakan agar bisa meringankan atau memberatkan.
Begitu pula perkara saat bergulir di pengadilan, tentu secara kolektif mulai pelimpahan berkas, ditangani panitera pengganti, majelis hakim dan pihak yang berperkara mempunyai misi dan tugas ‘mutualisme’ untuk menggolkan kasus yang ditangani.
Bila secara normatif, pertimbangan memutuskan perkara berdasar fakta persidangan, barang bukti, dan keterangan saksi yang memberikan kewenangan independen kepada majelis, maka hal positif terbangun dalam penegakkan hukum di Indonesia.
Sebaliknya, bila mulai kepolisian, kejaksaan, dan hakim sudah kongkalikong untuk meramu kasus sesuai dengan pesanan, maka sangkaan ada jual-beli kasus, lelang tuntutan, dan vonis mengikuti selera di luar persidangan, maka hancur lah predikat para penegak hukum sebagai pilar penegak hukum. Yang terjadi adalah “Keadilan Barbar”. Bak pisau, hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Hukum bisa dikendalikan oleh kekuasaan dan fulus (uang).