Sering muncul istilah UUD diplesetkan menjadi ujung-ujungnya duit, semua penegak hukum disebut GBU (gue butuh uang), KUHP (kasih uang habis perkara), Hakim (hubungi aku kalau ingin menang). Sekali lagi, semua tetap pada manusianya, telah lupa terhadap sumpah, jatidiri sebagai aparat penegak hukum, yang lebih fatal telah menghilangkan memori, bahwa Allah sebagai Sang Khaliq (Pencipta) telah mengutus dua malaikat Rohib dan Atit untuk mencatat semua amal perbuatannya.
Pada obyek penegak hukum yang telah keluar dari bingkai profesi, menurut saya adalah Error In Persona. Mengapa saya lebih condong memakai istilah error in persona atau exception in persona, karena bisa diartikan adanya kekeliruan mengenai seseorang (persona), yaitu oknum penegak hukum.
Dalam konteks peradilan, error in persona dapat diartikan sebagai kekeliruan atas orang yang diajukan sebagai tergugat melalui surat gugatan atau terdakwa dalam surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Bila mengikuti uraian dari buku M. Yahya Harahap, tentu sangat panjang, tapi ingin saya mengetuk para rekan sejawat penegak hukum yang telah melekat sebagai penegak hukum, masih pantaskah profesi tersebut disandang bila telah terjadi error in persona bukan pada obyek, tapi pada subyek, yaitu para penegak hukum sendiri.
Pantaskah, para penyidik memproses perkara pidana bila di benaknya bukan lagi koki yang menjunjung tinggi hukum berdasarkan undang-undang tapi berdasarkan uang? Pantaskan jaksa memberikan tuntutan hukum, bila pasal-pasal yang didakwakan diperdagangkan? Layakkah hakim menjatukan putusan, jika sebelum palu keadilan dijatuhkan hanya menuruti selera makelar hukum.
Di akhir tulisan ini, saya tentu ikut tersentil, karena pada posisi normal dan praktek bak bumi dan langit. Ada jurang pemisah. Kalau pun ada jembatan penghubung, bukan hanya butuh dana operasional yang wajar, namun membutuhkan kelihaian lobi dan pengorbanan berdarah-darah.
Tapi, saya tetap yakin masih banyak pada penegak hukum yang tegak lurus, hukum harus adil, ditegakkan tanpa pandang bulu. Fiat Justitia ruat caelum (keadilan harus ditegakkan walau langit akan runtuh). Walaupun kondisi dunia sudah bobrok hukum harus ditegakkan alias Fiat et Pereat Mundus.
Dan, siapa pun harus menyakini bahwa ada kehidupan abadi yang nanti akan menjadi persidangan tanpa kompromi, suap, sogok, dan uang sudah tidak punya arti. Tangan kitalah yang memberikan keterangan, kaki kitalah yang menjadi saksi. Itulah keadilan hisab: “Iqro’ kitabakah kafa binafsikal yauma alaika hasiba.” (Bacalah Kitabmu (catatan prilakumu!). cukuplah dirimu sebagai penghisab sendiri) (QS al Isro’ 17: 14). Semoga menjadi instropeksi, muhasabah kita bersama, khususnya al faqir yang dituntut untuk bisa berbuat bijak. Wallahu a’lam bish-showab. (Penulis adalah Jurnalis/ Direktur LBH Maritim)