Di 3 negara ASEAN tersebut, rangkaian perjalanan darat Teater Bengkel Muda Surabaya dengan rute:
I. Kuala Lumpur-Melaka- Kuala Lumpur-Hat Yai- Songkhla-Hat Yai- Bangkok.
II. Bangkok-Surathani- Alor Setar-Johor Baru- Singapura.
III. Singapura-Kuala Lumpur.
Lantas terbang ke Tanah Air. Pulang.
Yang mengesankan, sehabis menyelesaikan rute I Kuala Lumpur-Hat Yai-Songkhla-Hat Yai-Bangkok selama 2 hari 2 malam dengan kereta api disambung mini bus dan bus malam, pagi hari setiba di sebuah hotel di Bangkok, di lobby — kami “disuguhi” ‘head line’ koran-koran berbahasa Inggris dan berhuruf Thai plus foto-foto mengerikan tragedi Bom Bali I. Miris. Prihatin.
Kami tiba di hotel tersebut sehari setelah bom meledak di Sari Club dan Padi Cafe, Denpasar tanggal 12 Oktober 2002.
Juga berita-berita tentang (dugaan) keterlibatan 2 orang Indonesia dalam jaringan terorisme international –salah satunya pernah tinggal di Malaysia– baik yang kami baca melalui sejumlah koran yang terbit di negara-negara tersebut maupun dari siaran televisi yang kami tonton di kamar hotel.
Sejak itu muncul pasang surut rasa was-was pada sejumlah anggota rombongan campur aduk dengan kondisi tubuh capek karena perjalanan darat itu.
Saat melalui rute II Bangkok-Surathani-Alor Setar-Johor Baru-Singapura, banyak kejadian unik yang kami alami. Dan yang terheboh pada ‘check point’ Singapura sesudah ‘check point’ Johor Baru, Malaysia.
Di ‘check point’ tersebut, saat pemeriksaan paspor dan barang-barang bawaan, di situ terbagi (kalau tidak salah) dalam 4 lajur. Rombongan kami antre menempati dua lajur.
Di salah satu lajur yang kami antre, saat pemeriksaan tiba pada giliran (alm) Khusnul Huda Soleh, petugas imigrasi di situ memerintahkan dengan suara keras agar sejumlah orang dari rombongan kami yang ada pada sisa antrean untuk keluar dari lajur. Dan ‘ndilalah kersaning Allah’ lha kok nama-nama di paspor kami kearab-araban, seperti Farid Syamlan, Achmad Zainuri, Zarir Sururi dan saya yang berada di antrean terakhir.
Kami diperiksa khusus. Ada apa ini kok orang-orang Indonesia masuk ke Singapura jumlahnya banyak dalam satu rombongan, begitu intinya.
Lantas sebagai pelaksana produksi muhibah ini, saya tunjukkan undangan dan surat-surat dalam bentuk ‘print out’ email dan faksimili dari Persatuan Wartawan Melayu Singapura serta dari seorang mantan wartawan di Bangkok salah satu jaringan (Prof. Dr.) Sam Abede Pareno selaku pemimpin rombongan. Juga katalog muhibah kami, berisi sipnosis pertunjukan dan biodata 32 orang pemain serta kru. Akhirnya beres. Kami dilepas.
Baru saja bernafas lega setelah diperiksa khusus itu, tiba-tiba Ipung (Syaiful Arif) salah satu anggota rombongan kami yang telah lolos pemeriksaan yang ada di lajur satunya, berteriak “Yitno ditangkap! Yitno ditangkap! “, lantas jari telunjuknya mengarah ke satu ruangan tak jauh dari lajur-lajur pemeriksaan. “Di bawa ke situ! Ke situ! “.
Saya tenang saja, karena sudah perkirakan hal Pak Suyitno staf sekretariat Dewan Kesenian Surabaya yang sering menangani bagian properti kala kami pentas, bakal menimbulkan “preseden”. Entah di titik mana nantinya.
Salah satu properti drama tanpa kata “Adu Domba” adalah replika senapan M-16 dalam skala 1:1 yang terbuat dari gabus/sterofoam tebal. Saat dilewatkan sabuk berjalan dan melewati pemindai tentu tidak menimbulkan bunyi alarm. Replika M-16 yang dibikin penata artistik Amir Kiah ini bentuknya persis yang asli.
Di layar monitor secara siluet terlihat mirip bedil M-16 meski mungkin tidak sejelas jika yang melalui pemindai itu M-16 asli yang terbuat dari logam.
“Senapan” tersebut diletakkan dalam kardus yang lantas dibuntal kertas koran.
Pemeriksaan ini sampai diulang 3 kali, tetap tidak membunyikan alarm. Pak Yitno pun sudah bilang ke aparat di situ bahwa salah satu barang bawaannya cuma bedil-bedilan untuk pentas drama. Tetap saja Pak Yitno dibawa oleh dua orang petugas ke ruangan tersebut, untuk diperiksa secara njelimet. (*)