Oleh: Amang Mawardi
Dibanding sejumlah teman wartawan yang beberapa kali ke luar negeri, saya tergolong paling jarang. Itu pun bukan karena tugas jurnalistik, melainkan tergabung dalam misi kesenian ke Australia (Perth, Fremantle, Brisbane, Ipswick) tahun 1995,1996, 2004; Malaysia (Kuala Lumpur, Melaka) 2001, 2002; Singapura 2001, 2002; Thailand (6 provinsi) 1997, 2002.
Sekitar tahun 1984 saya pernah usul kepada petinggi koran di mana saya bekerja saat beliau berkunjung ke kantor perwakilan di Surabaya.
“Pak, ‘mbok’ teman-teman di Surabaya sekali-kali diberi penugasan ke luar negeri ?”
Apa jawab beliau?
“Oke, Anda berangkat seminggu lagi. Segera urus paspor! ”
“Kemana, Pak? ”
“Segi Tiga Emas! Kita bulan ini ada program ke sana !”
Saya lantas anti-klimaks. Ekspektasi saya buyar.
Pikiran saya, kalau ngasih penugasan anak buah yang belum pernah ke luar negeri ‘mbok yao’ yang turistik, misal ke Singapura atau Kuala Lumpur. Lha ini ke perbatasan Thailand, Burma, Laos — kawasan perkebunan opium yang dalam bayangan saya sungguh menakutkan dengan sekian ratus penjaganya bersenjata api. Bakal menembus kantong-kantong jaringan narkotika sarat bahaya. Apalagi jika mengingat English saya yang amburadul.
Berbeda dengan situasi sekarang, kabarnya kawasan tersebut sudah jadi destinasi wisata.
Pernah saya baca di Majalah ‘Kartini’, salah satu wartawatinya yang juga penulis sastra — Lastri Fardani Sukarton, untuk meliput kawasan ‘golden three angle’ tersebut menyewa helikopter dan dikawal beberapa pria berbadan tegap. Waktu itu suami Mbak Lastri yaitu Laksamana Muda Sukarton masih menjabat Jaksa Agung.
Sejak saat itu hingga saya tidak lagi bergabung dengan institusi pers tadi pada tahun 1987 — dilanjut ganti berkarier di sejumlah media cetak lain– belum pernah satu kali pun saya ke luar negeri dalam rangka tugas jurnalistik.
Kalau saya pergi ke sejumlah kawasan di 4 negara tersebut, karena tergabung dalam aktivitas kesenian.
Atau manakala dikaitkan perkara kuantitatif yang bersinggungan dengan ibadah haji pada tahun 2014, berarti sudah 5 negara yang pernah saya kunjungi hingga saya berusia 68 tahun ini.
Namun ‘output’ dalam rangkaian misi kesenian tersebut saya manifestasikan dalam karya-karya jurnalistik yang dimuat di sejumlah koran dan majalah yang lantas saya bukukan dengan judul ‘Dalam Lintasan Seni’ (penerbit Henk Publica, 55 judul – 255 halaman) yang diberi pengantar oleh tokoh pers Dahlan Iskan.
Dalam sekian muhibah seni ke manca itu, yang menarik buat saya ketika mengikuti pentas teater tanpa kata “Adu Domba” yang disutradarai (alm) Bambang Sujiyono, diproduksi komunitas seni Bengkel Muda Surabaya pada tahun 2002.
Selain melibatkan sejumlah seniman relatif banyak –32 orang– juga lamanya waktu muhibah yaitu 3 minggu, melintasi 3 negara (Malaysia,Thailand, Singapura) dengan jalan darat: Kereta api, bus ber-AC, bus bumel non-AC/bus yang berhenti saat dicegat penumpang di sembarang tempat, pick up dan mini bus. Kecuali pada titik keberangkatan dan kepulangan di bandara Juanda dan bandara Kuala Lumpur –tentu– menggunakan pesawat terbang.
Selain mementaskan teater tanpa kata “Adu Domba” di Singapore Expo atas sponsor Persatuan Wartawan Melayu Singapura, juga berdiskusi tentang teater-puisi-budaya di kampus Universiti Putra Malaysia, Kuala Lumpur. Selebihnya mengunjungi situs-situs budaya di Melaka dan Bangkok.
(Sebelumnya, pada tahun 1997 saya bergabung dengan Yayasan Seni Surabaya pimpinan Cak Kadar dan Teater Keliling yang diketuai Dery Sirna ‘tour show’ 6 provinsi di Thailand, menyuguhkan pementasan tari dan teater, dalam rangka peringatan ulang tahun penobatan Raja Bhumibol Adulyadew ke-50).