Islah Taliban – Syiah Dalam Sudut Pandang Akhir Zaman

Islah Taliban – Syiah Dalam Sudut Pandang Akhir Zaman
Anwar Hudijono

Oleh Anwar Hudijono

Taliban dan Iran melakukan islah (perdamaian). Prosesnya sangat cepat seperti perubahan warna air yang bening ketika dimasuki wenter. Yang menjadi titik temu adalah Imam Husein bin Ali, cucu Rasulullah Muhammad. Sementara rentang benang merah Imam Husein itu sampai ke Imam Mahdi, khalifah akhir zaman, yaitu melawan penindas.

Sungguh, islah mereka bukanlah perkara enteng-entengan dalam sudut pandang eskatologi Islam atau ilmu akhir zaman. Ilmu yang mengkaji, menelaah, mempelajari peristiwa-peristiwa besar kekinian yang terjadi dalam kehidupan, kejadian di jagat raya sebagai tanda-tanda atau ayat-ayat Allah dengan dasar Al Quran dan Hadits.

Selama ini keduanya terlibat dalam permusuhan bebuyutan yang panjang. Pemusuhan terkait dengan ideologi di mana Iran adalah sokoguru Syiah sementara Taliban bermazhab Suni Hanafiah. Tapi Taliban awal lebih dekat ke Wahabi yang di belakangnya ada Arab Saudi dan UEA.

Iran mendukung kelompok Aliansi Utara yang melawan Taliban saat berkuasa 1996-2001. Ada lagi kasus Taliban menyerang Konsulat Iran di Herat dan menculik 11 diplomatnya, 23 tahun lalu. Untuk kasus terakhir ini sepertinya sudah “cincai” setelah Taliban membunuh Amir Naroui, pemimpin Jaish alp-Adli (Tentara Keadilan) yang hendak memisahkan diri dari Iran.

Lebih menarik lagi, isu islah mereka bukan ekonomi, politik, pengungsi, peradaban atau yang lain. Tetapi yang utama adalah kesadaran untuk melupakan perbedaan di antara keduanya, dan mencari kesamaan. Dan kesamaan yang menjadi nisbah (titik temu) adalah Imam Husein bin Ali, cucu Rasulullah Muhammad.

Taliban menyatakan sangat menghormati, bahkan merasa memiliki kesyahidan Imam Husein. Menjadi penerus perjuangannya melawan penindas. Mengijinkan umat Syiah Afghanistan memperingati Bulan Duka Muharam untuk memperingati pembunuhan secara kejam Imam Husein di Karbala oleh tentara Yazib bin Muawiyah, penguasa Bani Umayah.

Rontoknya sektarianisme

Islahnya Iran-Taliban ini boleh dibilang tanda-tanda mulai rontoknya sektarianisme dalam Islam. Lebih seribu tahun Syiah-Suni, dua kelompok mazhab terbesar Islam, terlibat konflik sektarian.

Tidak perlu mencari siapa yang benar dan siapa yang salah dalam konflik ini. Yang jelas siapapun saja yang bersikap sektarian berarti tidak mengindahkan peringatan Allah di Quran surah Al Hujurat 10-12. Bahwa kendala terbesar terbentuknya persaudaraan Islam adalah sektarianisme (ayat 11).

Merasa menjadi golongan terbaik sehingga mengolok-olok golongan muslim yang lain, mencela, memanggil dengan gelar yang buruk seperti kafir, murtadin, radikal, intoleran, bahlul dan sebagainya. Mencurigai secara berlebihan dan ghibah (ayat 12).

Dalam perspektif nubuwat akhir zaman, rontoknya sektarian ini, insya Allah, pertanda akan segera lahirnya Pasukan Imam Mahdi atau yang disebut Pasukan Berpanji Hitam. Kenapa? Salah satu syarat mutlak menjadi Pasukan Imam Mahdi adalah tidak sektarian. Sebab, Imam Mahdi itu milik semua umat Islam. Berdiri di atas semua golongan. Tidak sektarian.

Di antara misinya, selain mewarisi risalah Imam Husein melawan penindas adalah mempersatukan seluruh umat Islam. Meneruskan risalah leluhurnya, Hasan bin Ali yang ikhlas melepaskan jabatan khalifah kepada Muawiyah demi menjaga keutuhan umat Islam. Kalau dia tidak mau melepas jabatan itu, akan terjadi pertumpahan darah yang dahsyat di kalangan umat Islam.

Untuk itulah dia akan dibaiat di Ka’bah. Ka’bah adalah simbol persatuan dan kesatuan umat Islam seluruh jagat raya ini. Apapun mazhabnya, etnisnya, organisasinya, rasnya, bahasanya, kelompoknya, status sosialnya, profesinya, gelar akademisnya, di mana pun dan kapanpun, setiap shalat mesti menghadap ke arah Ka’bah. Saat dikubur pun semua muslimin menghadap ke Ka’bah.