e) Memberikan kesan bahwa dia adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus apapun tentang dirinya akan ditafsirkan sebagai anti-Pancasila;
f) Melontarkan tuduhan-tuduhan bahwa ada usaha-usaha untuk mengangkat senjata, mensubversi, menginfiltrasi dan perbuatan-perubatan jahat ainnya dalam menghadapi pemilu yang akan datang
Mengingat pemikiran-pemikiran yang terkandung dalam pidato-pidato Presiden Soeharto adalah unsur yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan pemerintahan negara ini dan pemilihan umum yang segera akan berlangsung, kami mendesak para wakil rakyat di DPR dan MPR untuk menanggapi pidato-pidato Presiden pada tanggal 27 Maret dan 16 April 1980.
Petisi ini dibacakan di depan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 13 Mei 1980 dengan maksud untuk meyakinkan para wakil rakyat agar meminta penjelasan dari Presiden tentang apa maksudnya yang sesungguhnya dengan kedua pidatonya itu.
Delegasi yang menghadap para wakil rakyat ini dipimpin oleh Mayjen. (purn.) Dr. Azis Saleh. Pada 3 Juli 1980, 19 anggota DPR mengajukan sebuah dokumen yang memuat dua buah pertanyaan kepada Presiden.
Mereka bertanya apakah presiden setuju bahwa Ungkapan Keprihatinan itu memuat masalah-masalah penting yang patut mendapatkan perhatian dari semua pihak, khususnya dari DPR dan pemerintah, dan apakah rakyat Indonesia patut mendapatkan penjelasan yang menyeluruh dan terinci tentang masalah-masalah yang diangkat.
Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan kepada Presiden dalam sebuah surat tertanggal 14 Juli.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengundang berbagai reaksi di lingkungan DPR. Seorang anggota DPR, Soedardji, tidak setuju bahwa Presiden harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Namun, rekan separtainya, Anwar Nuris, mengatakan bahwa hal itu adalah bagian yang normal dari proses berkonstitusi.
Pada 1 Agustus 1980, Soeharto menyampaikan jawabannya kepada Ketua DPR Daryatmo, dengan melampirkan salinan dari kedua pidatonya yang mendorong lahirnya “Ungkapan Keprihatinan”.
Soeharto menulis bahwa ia yakin bahwa para anggota DPR yang telah berpengalaman akan memahami makna dari pidato-pidatonya itu, namun apabila mereka masih belum puas, ia mengusulkan agar para anggota DPR mengajukan pertanyaan-pertanyaan mereka kepada anggota-anggota dari Komisi-Komisi DPR terkait, sesuai dengan prosedur tata cara DPR.
Pemerintah lalu dengan senang hati akan memberikan penjelasan-penjelasan tambahan, melalui Menteri Pertahanan/para panglima militer, khususnya tentang hal-hal yang diangkat oleh “Petisi 50”
Ketua DPR menyampaikan kepada wartawan bahwa menurut pendapatnya, tanggapan ini telah cukup memberikan perhatian kepada ke-19 anggota DPR itu, dan telah memperlihatkan rasa hormat kepada DPR.
Karena pemerintah menguasai semua komisi, wacana publik yang sungguh-sungguhpun ditutup begitu saja dan status quo “Orde Baru” yaitu dwifungsi, kesatuan Golkar dan ABRI, serta keutamaan Pancasila ditegaskan kembali.
Dalam pidato 17 Agustusnya pada tahun yang sama, Soeharto menyatakan kembali bahwa “Satu-satunya cara bagi kita untuk melaksanakannya ialah dengan menerapkan pembangunan, dan
semua harus mampu menjaga kestabilan dinamika regional.”
Soeharto kemudian mencabut hak-hak perjalanan para kritikusnya, dan melarang koran-koran menerbitkan foto-foto mereka ataupun mengutip pernyataan-pernyataan mereka..
Para anggota kelompok ini tidak dapat memperoleh pinjaman bank dan kontrak-kontrak
Soeharto menyatakan: “Saya tidak suka apa yang dilakukan oleh yang disebut Petisi 50 ini. Saya tidak suka cara-cara mereka, terlebih lagi karena mereka menyebut diri mereka patriot”.
Para Penandatangan “Petisi 50”
(1). H.M. Kamal
(2). Letjen TNI (Purn.) Ahmad Yunus Mokoginta
(3). Suyitno Sukirno
(4). Letjen TNI (Purn.) M. Jasin
(5). Ali Sadikin
(6). Prof. Dr. Mr. Kasman Singodimedjo
(7).M. Radjab Ranggasoli
(8). Bachrun Martosukarto, S.H.
(9). Abdul Mu’thi, S.H. (Bandung)
(10). M. Amin Ely
(11). Ir. H.M. Sanusi
(12). Mohammad Natsir. (13). Ibrahim Madylao. (14).
M. Ch Ibrahim
(15). Bustaman, S.H.
(17). Burhanuddin Harahap
(17). Dra. S.K. Trimurti
(18). Chris Siner Key Timu
(19). Maqdir Ismail
(20). Alex Jusuf Malik, S.H.
(21). Julius Hussein, S.E. (22). Darsjaf Rahman
(23). Slamet Bratanata
(24). Endy Syafruddin
(25). Wachdiat Sukardi
(26). Ibu Dorothea Walandouw
(27). Hoegeng Imam Santoso
(28).Letkol Cpl M. Sriamin
(29). Edi Haryono
(30). Dr. A.H. Nasution
(31).Bambang Singgih
(32).Drs. A.M. Fatwa
(33). Indra K. Budenani
(34).Drs. Sulaiman Hamzah. (35). Haryono. (36).
S. Yusuf
(37). Ibrahim G. Zakir
(38). Ezra M.T.H Shah
(39). Abdul Djalil Latuconsina (Surabaya)
(40). Djoddy Happy (Surabaya)
(41). Bakri A.G. Tianlean
(42). Dr. Judilherry Justam
(43). Drs. Med. Dody Ch. Suriadiredja
(44). A. Shofandi Zakaria
(45). A. Bachar Mu’id
(46). Mahyudin Nawawi
(47). Sjafruddin Prawiranegara, S.H.
(48). Manai Sophiaan
(49). Mohammad Nazir
(50). Anwar Harjono
(51). Azis Saleh
(52). Haji Ali Akbar.