Selamat Jalan Jalil Tokoh “Petisi 50”

Oleh : Djoko Tetuko, Pemimpin Redaksi Wartatransparansi

Selamat Jalan Jalil Tokoh “Petisi 50”

*Innalillahi wa innailaihi rojiun*, telah pulang rahmatullah, sahabat penggiat pers dan tokoh “Petisi 50”, Abdul Jalil Latuconsina, Jumat (25/6/2021) di rumah duka, Graha Aparna
Tower D, Lt. 1, No. 113. Jalan Siwalan Kerto Timur V, Siwalan Kerto, Kec. Wonocolo, Kota Surabya, Jawa Timur.

Selamat jalan almarhum Jalil —biasa dipanggil— insan pers dengan media “Sapujagad” dengan konten selalu terbit dengan berbagai kasus penyelewenaan dan ketimpangan sosial. Tidak hanya menyoroti pemerintah, tetapi juga kalangan swasta.

Joko Intarto wartawan senior dalam tulisan di WhatsApp grup menyatakan, bahwa Bang Jalil
sangat baik dalam memperjuangkan visi terbaik.

“Surabaya kehilangan pegiat pers yang gigih menggalang kedaulatan insan pers, bukan buruh dan abdi pemodal,” katanya, Jumat (25/6/2021)

Almarhum Jalil termasuk tokoh kontroversial dalam berbagai peristiwa dan itu menjadi sikap kehidupan sehari-hari serta konten Tabloid Sapujagat.

Sikap Jalil sebagai penggiat pers, dengan sikap selalu menyoroti ketimpangan sosial, mencerminkan sebagai salah satu penandatangan “Petisi 50”.

Sekedar mengingatkan sebagai diunduh dari Wikipedia,
Petisi 50 adalah sebuah dokumen yang isinya memprotes penggunaan filsafat negara Pancasila oleh Presiden Soeharto terhadap lawan-lawan politiknya.

Petisi ini diterbitkan pada 5 Mei 1980 di Jakarta sebagai sebuah “Ungkapan Keprihatinan” dan ditandatangani oleh 50 orang tokoh terkemuka Indonesia, termasuk mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution, mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso, mantan gubernur Jakarta Ali Sadikin, dan mantan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir.

Para penandatangan petisi ini menyatakan bahwa Presiden telah menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila; bahwa Soeharto menganggap setiap kritik terhadap dirinya sebagai kritik terhadap ideologi negara Pancasila;

Soeharto menggunakan Pancasila “sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya”; Soeharto menyetujui tindakan-tindakan yang tidak terhormat oleh militer; sumpah prajurit diletakkan di atas konstitusi; dan bahwa prajurit dianjurkan untuk “memilih teman dan lawan berdasarkan semata-mata pada pertimbangan Soeharto”.

Tentu saja dengan maksud menghindarkan ancaman-ancaman ideologis dari kiri (yaitu komunisme) dan kanan (yaitu Islam politik), pada 1978 pemerintah Orde Baru mengeluarkan instruksi yang mengharuskan dijadikannya Pancasila sebagai mata pelajaran wajib di departemen-departemen pemerintahan, sekolah-sekolah, tempat-tempat kerja, dll., sehingga mengundang kritik dan cemoooh dari kaum intelektual.

Pada sebuah rapat umum dengan para pimpinan angkatan ABRI pada 27 Maret 1980 di Balai Dang Merdu, Pekanbaru, Riau, Soeharto mengatakan bahwa ABRI telah berjanji untuk melindungi Pancasila maupun Undang-Undang Dasar 1945 dari kemungkinan-kemungkinan amendemen. Soeharto juga berkata bahwa sebagai sebuah kekuatan sosial-politik, ABRI harus memilih mitra-mitra politik yang benar yang telah terbukti bersedia mempertahankan Pancasila dan UUD 1945, karena saat itu ada kekuatan-kekuatan sosial-politik yang meragu-ragukannya.

Bahkan mengulangi pikiran-pikirannya ini dalam sebuah pidato pada bulan berikutnya pada peringatan hari jadi Kopassus. Pidato-pidatonya ini mengundang tanggapan-tanggapan yang keras sehingga muncullah Petisi 50. Nama ini muncul karena petisi ini ditandatangani oleh 52 orang tokoh terkemuka Indonesia.

Isi dokumen Petisi 50

Dengan berkat rahmat Allah yang Mahakuasa, kami yang bertandatangan di bawah ini, yakni sekelompok pemilih dalam pemilu-pemilu yang lalu, mengungkapkan keprihatinan rakyat yang mendalam atas pernyataan-pernyataan Presiden Soeharto dalam pidato-pidatonya di hadapan rapat panglima ABRI di Pekanbaru pada tanggal 27 Maret 1980 dan pada peringatan hari ulang tahun Koppasandha di Cijantung pada tanggal 16 April 1980.

Kami prihatin akan pidato-pidato Presiden Soeharto yang:

a) Mengungkapkan prasangka bahwa di antara rakyat kita yang bekerja keras untuk membangun meskipun mereka mengalami beban yang semakin berat, terdapat polarisasi di antara mereka yang ingin “melestarikan Pancasila” di satu pihak dengan mereka yang ingin “mengganti Pancasila” di pihak lain, sehingga muncullah keprihatinan-keprihatinan bahwa konflik-konflik baru dapat muncul di antara unsur-unsur masyarakat;

b) Keliru menafsirkan Pancasila sehingga dapat digunakan sebagai suatu ancaman terhadap lawan-lawan politik. Pada kenyataannya, Pancasila dimaksudkan oleh para pendiri Republik Indonesia sebagai alat pemersatu Bangsa;

c) Membenarkan tindakan-tindakan yang tidak terpuji oleh pihak yang berkuasa untuk melakukan rencana-rencana untuk membatalkan Undang-Undang Dasar 1945 sambil menggunakan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit sebagai alasannya, meskipun kenyataannya hal ini tidak mungkin karena kedua sumpah ini berada di bawah UUD 1945;

d) Meyakinkan ABRI untuk memihak, untuk tidak berdiri di atas seluruh golongan masyarakat, melainkan memilih-milih teman-temannya berdasarkan pertimbangan pihak yang berkuasa;