HMI Mau Apa ?

Oleh : Anna Lutfhie

HMI Mau Apa ?
ILUSTRASI : Pembukaan Konggres HMI di Gedung Negara Grahadi Surabaya

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir atas dasar sebuah kegelisahan. Ada dua kegelisahan yang melatarbelakangi kelahiran organisasi kemahasiswaan tertua ini, yakni gelisah atas kondisi kebangsaan serta kegelisahan akan problem keumatan.

Dari sisi kebangsaan, pentingnya mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman perpecahan saat itu, cukup kuat memicu kesadaran akan pentingnya berhimpun bagi kekuatan mahasiswa Islam. Sementara itu, kegelisahan keumatan dilatarbelakangi oleh pemandangan umum, masih rendahnya kualitas pemahaman dan penghayatan generasi Islam dalam mengamalkan ajaran agamanya.

Dari kegelisahan inilah lahir misi awal HMI ketika itu, yakni mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mempertinggi derajat bangsa Indonesia, serta internalisasi nilai-nilai keislaman. Dalam perjalanan waktu, misi HMI mengalami perubahan, yakni membela kaum mustadh’afin dan internalisasi nilai-nilai keislaman. Perubahan ini senada dengan tujuan HMI dan Islam yang menjadi asasnya. Inilah marwah atas kelahiran HMI yang bertekad hadir untuk memberikan perubahan dan pembaharuan di tengah masyarakat.

Upaya perubahan dan pembaharuan pun mengiringi perjalanan 74 tahun HMI saat ini hingga kemudian mengantarkan organisasi ini lebih cenderung politik heavy. Memori perjalanan HMI lebih didominasi nuansa gerakan dan tarik-menarik politik elitenya daripada pengembangan intelektualitasnya. Pengembangan pemikiran yang menonjol dilakukan saat Nurcholish Majid memimpin HMI periode 1966-1969. Pada tahun 1970, cendekiawan muslim ini menelurkan gagasan pembaruan pemikiran Islam. Gagasan ini kemudian lahir kembali dengan munculnya nama Anas Urbaningrum yang mencoba membangkitkan kembali romantisme intelektualitas HMI.

Namun, desakan dan arus politik memang begitu kuat mewarnai HMI. Hal ini tidak lepas dari peran dan gerak para alumninya yang lebih condong berperan di panggung politik, baik di level eksekutif, maupun jabatan-jabatan di kepartaian dan legislatif. Akibatnya, HMI pun bagaikan perahu yang diombang ambingkan oleh ombak politik.

Kondisi inilah yang membuat Nurcholish Madjid turun gunung. Pada pertengahan tahun 2002, cendekiawan Muslim ini mengusulkan agar HMI sebaiknya dibubarkan saja. Alasannya, orientasi para kader HMI condong menjadi pejabat. Inilah kritik tajam dari “orang dalam” sendiri untuk membubarkan HMI. Padahal, sebelumnya gerakan pembubaran dan tekanan hanya terjadi dari pihak eksternal. Tentu, sebagian keluarga HMI memahami, peringatan Cak Nur adalah satire dan wujud kasih sayangnya terhadap organisasi ini.

Kongres Surabaya

Saat ini HMI tengah menggelar hajatan dua tahunan yakni Kongres HMI XXXI yang diselenggarakan di Surabaya. Kongres kali ini sebenarnya menjadi momentum bagi HMI melakukan konsolidasi setelah mengalami dualisme kepengurusan dari pengurus PB HMI hasil Kongres XXX sebelumnya. Selain menjadi momentum konsolidasi, kongres semestinya menjadi ajang untuk meneguhkan kembali jati diri HMI.