Jumat, 29 Maret 2024
32 C
Surabaya
More
    Oleh : Anna Lutfhie

    HMI Mau Apa ?

    Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir atas dasar sebuah kegelisahan. Ada dua kegelisahan yang melatarbelakangi kelahiran organisasi kemahasiswaan tertua ini, yakni gelisah atas kondisi kebangsaan serta kegelisahan akan problem keumatan.

    Dari sisi kebangsaan, pentingnya mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman perpecahan saat itu, cukup kuat memicu kesadaran akan pentingnya berhimpun bagi kekuatan mahasiswa Islam. Sementara itu, kegelisahan keumatan dilatarbelakangi oleh pemandangan umum, masih rendahnya kualitas pemahaman dan penghayatan generasi Islam dalam mengamalkan ajaran agamanya.

    Dari kegelisahan inilah lahir misi awal HMI ketika itu, yakni mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mempertinggi derajat bangsa Indonesia, serta internalisasi nilai-nilai keislaman. Dalam perjalanan waktu, misi HMI mengalami perubahan, yakni membela kaum mustadh’afin dan internalisasi nilai-nilai keislaman. Perubahan ini senada dengan tujuan HMI dan Islam yang menjadi asasnya. Inilah marwah atas kelahiran HMI yang bertekad hadir untuk memberikan perubahan dan pembaharuan di tengah masyarakat.

    Upaya perubahan dan pembaharuan pun mengiringi perjalanan 74 tahun HMI saat ini hingga kemudian mengantarkan organisasi ini lebih cenderung politik heavy. Memori perjalanan HMI lebih didominasi nuansa gerakan dan tarik-menarik politik elitenya daripada pengembangan intelektualitasnya. Pengembangan pemikiran yang menonjol dilakukan saat Nurcholish Majid memimpin HMI periode 1966-1969. Pada tahun 1970, cendekiawan muslim ini menelurkan gagasan pembaruan pemikiran Islam. Gagasan ini kemudian lahir kembali dengan munculnya nama Anas Urbaningrum yang mencoba membangkitkan kembali romantisme intelektualitas HMI.

    Namun, desakan dan arus politik memang begitu kuat mewarnai HMI. Hal ini tidak lepas dari peran dan gerak para alumninya yang lebih condong berperan di panggung politik, baik di level eksekutif, maupun jabatan-jabatan di kepartaian dan legislatif. Akibatnya, HMI pun bagaikan perahu yang diombang ambingkan oleh ombak politik.

    Kondisi inilah yang membuat Nurcholish Madjid turun gunung. Pada pertengahan tahun 2002, cendekiawan Muslim ini mengusulkan agar HMI sebaiknya dibubarkan saja. Alasannya, orientasi para kader HMI condong menjadi pejabat. Inilah kritik tajam dari “orang dalam” sendiri untuk membubarkan HMI. Padahal, sebelumnya gerakan pembubaran dan tekanan hanya terjadi dari pihak eksternal. Tentu, sebagian keluarga HMI memahami, peringatan Cak Nur adalah satire dan wujud kasih sayangnya terhadap organisasi ini.

    Kongres Surabaya

    Saat ini HMI tengah menggelar hajatan dua tahunan yakni Kongres HMI XXXI yang diselenggarakan di Surabaya. Kongres kali ini sebenarnya menjadi momentum bagi HMI melakukan konsolidasi setelah mengalami dualisme kepengurusan dari pengurus PB HMI hasil Kongres XXX sebelumnya. Selain menjadi momentum konsolidasi, kongres semestinya menjadi ajang untuk meneguhkan kembali jati diri HMI.

    Apa itu jati diri HMI? Tak lain tak bukan adalah meneguhkan kembali HMI sebagai gerakan intelektual, sesuatu yang hampir sepi lahir dari gerakan organisasi ini. Padahal sejarah mencatat bagaimana HMI melahirkan banyak sosok pemikir yang brilian, pemikir keumatan dan kebangsaan.

    Tentu kita tidak bisa melupakan bagaimana sosok Nurcholish Madjid yang dalam sejarahnya melakukan ijtihad intelektual ketika masih aktif di HMI. Cak Nur pernah mengambil langkah untuk menguatkan kelembagaan ideologi Islam modern ke dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI pada 1969. Ijtihad ini kemudian menghasilkan sebuah panduan ideologis bagi kader HMI. Langkah ini diakui sebagai momentum keberhasilan Cak Nur mengembalikan tradisi intelektual Islam dalam HMI.

    Tidak itu saja, bahkan Cak Nur pernah menyampaikan pidato yang monumental soal “keharusan pembaruan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat” pada 2 Januari 1970. Di pidatonya tersebut Cak Nur gelisah dengan kondisi umat Islam Indonesia. Di mata Cak Nur, ada kejumudan dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam. Cak Nur juga khawatir organisasi pembaruan Islam yang sudah terlembaga secara modern, seperti halnya HMI, mengalami kebekuan dari semangat pembaruan itu sendiri.

    Hari ini kekhawatiran Cak Nur itu masih terasa dengan minimnya ruang publik di HMI akan pemikiran-pemikiran progresif. Kaderisasi HMI memang berjalan bak rutinitas yang biasa sudah berjalan seperti mekanik, namun terasa hambar karena pembaharuan pemikiran yang dihasilkan tak jarang sepi. Justru yang menonjol lebih pada gerakan-gerakan dan isu-isu politik dibandingkan pembaharuan pemikiran intelektual.

    Ajang Kongres HMI di Surabaya kali ini semestinya menjadi revitalisasi atas semangat pembaharuan yang sudah pernah ditonggakkan oleh Cak Nur. Apalagi di tengah perubahan yang begitu cepat yang dipicu oleh pandemi, HMI semestinya hadir menjadi solusi, bukan beban bagi bangsa ini.

    Kongres Surabaya harus mampu mengembalikan tonggak pembaharuan tersebut, mengembalikan HMI pada khittahnya, berjuang untuk Islam, kemanusiaan, dan kebangsaan. Jika Kongres hanya menjadi ritual selebrasi dari kekuatan-kekuatan politik di internal HMI, apalagi dieskpresikan begitu massif di tengah pandemi dengan hadirnya peserta secara masala, layak kemudian dipertanyakan, HMI mau apa? (*)

    Oleh : Anna Lutfhie
    Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Surabaya Periode 1996-1997

     

    Berita Terkait

    Jangan Lewatkan