Apa itu jati diri HMI? Tak lain tak bukan adalah meneguhkan kembali HMI sebagai gerakan intelektual, sesuatu yang hampir sepi lahir dari gerakan organisasi ini. Padahal sejarah mencatat bagaimana HMI melahirkan banyak sosok pemikir yang brilian, pemikir keumatan dan kebangsaan.
Tentu kita tidak bisa melupakan bagaimana sosok Nurcholish Madjid yang dalam sejarahnya melakukan ijtihad intelektual ketika masih aktif di HMI. Cak Nur pernah mengambil langkah untuk menguatkan kelembagaan ideologi Islam modern ke dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI pada 1969. Ijtihad ini kemudian menghasilkan sebuah panduan ideologis bagi kader HMI. Langkah ini diakui sebagai momentum keberhasilan Cak Nur mengembalikan tradisi intelektual Islam dalam HMI.
Tidak itu saja, bahkan Cak Nur pernah menyampaikan pidato yang monumental soal “keharusan pembaruan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat” pada 2 Januari 1970. Di pidatonya tersebut Cak Nur gelisah dengan kondisi umat Islam Indonesia. Di mata Cak Nur, ada kejumudan dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam. Cak Nur juga khawatir organisasi pembaruan Islam yang sudah terlembaga secara modern, seperti halnya HMI, mengalami kebekuan dari semangat pembaruan itu sendiri.
Hari ini kekhawatiran Cak Nur itu masih terasa dengan minimnya ruang publik di HMI akan pemikiran-pemikiran progresif. Kaderisasi HMI memang berjalan bak rutinitas yang biasa sudah berjalan seperti mekanik, namun terasa hambar karena pembaharuan pemikiran yang dihasilkan tak jarang sepi. Justru yang menonjol lebih pada gerakan-gerakan dan isu-isu politik dibandingkan pembaharuan pemikiran intelektual.
Ajang Kongres HMI di Surabaya kali ini semestinya menjadi revitalisasi atas semangat pembaharuan yang sudah pernah ditonggakkan oleh Cak Nur. Apalagi di tengah perubahan yang begitu cepat yang dipicu oleh pandemi, HMI semestinya hadir menjadi solusi, bukan beban bagi bangsa ini.
Kongres Surabaya harus mampu mengembalikan tonggak pembaharuan tersebut, mengembalikan HMI pada khittahnya, berjuang untuk Islam, kemanusiaan, dan kebangsaan. Jika Kongres hanya menjadi ritual selebrasi dari kekuatan-kekuatan politik di internal HMI, apalagi dieskpresikan begitu massif di tengah pandemi dengan hadirnya peserta secara masala, layak kemudian dipertanyakan, HMI mau apa? (*)
Oleh : Anna Lutfhie
Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Surabaya Periode 1996-1997