Oleh Djoko Tetuko – Pemimpin Redaksi Wartatransparansi
Masihkah demokrasi di Indonesia selalu mengingkari Pancasila dan melawan akhlak mulia. Masihkah generasi penerus harus menerima sejarah buram masa lalu.
Dulu, ada seorang Habib sangat kondang diundang Presiden Soekarno untuk menghadiri jamuan dan diskusi ulama dan umaro di Istana Negara Bogor ditolak, karena takut tidak mampu menjaga keilmuan sebagai ulama.
Sejumlah ulama di era demokrasi modern cukup banyak ulama berlomba-lomba merapat ke jajaran eksekutif, bahkan juga kompetisi merebut kedudukan di legislatif.
Ketika ulama semakin langka menjaga keilmuan, ilmu agama dengan menjaga dan mengawal akhlak mulia atau budi pekerti tinggi, maka para santri politik (eksekutif, legislatif, juga angkatan bersenjata atau tentara juga polisi) sudah mulai meningalkan fatwa dan petuah dari para ulama.
Semua semakin kabur dalam demokrasi menang atau kalah, demokrasi dengan kekuatan suara besar atau kekuatan suara hanya di pinggiran, demokrasi dengan menghalalkan segala cara walau tahu bahwa melangkah atau merebut kekuasaan dengan cara-cara dzalim tidak membuahkan barokah.
Nabi Muhammad SAW dengan ajaran agama Islam untuk rahmatan lil aalamiin (memberi rahmat untuk seluruh alam) seluruh dunia beserta isinya, menang meninggalkan kitab suci Al-Quran dan As-Sunnah (Al-Hadits) sebagai pegangan mengambil dasar hukum berbagai persoalan keduniaan maupun alam penantian di akherat kelak.
Ajaran paling utama dalam memperdalam kitab suci maupun as-sunnah, “sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”
Akhlak mulia ternyata menjadi kunci dari semua peradaban di muka bumi. Mengingat sehebat apapun ilmu manusia tetapi ketika tidak didasari dengan pondasi akhlak mulia, maka keilmuannya akan menyengsarakan umat manusia.
Demokrasi model apapun di dunia kembali kepada akhlak mulia para pelaku demokrasi itu sendiri? Apakah akan dijalankan dengan santun dan penuh kehati-hatian menjaga keilmuan dengan sejati dan murni. Atau sengaja memutarbalikkan fakta, memburu singgasana dunia.
Hari ini, demokrasi di Indonesia kembali diuji dengan dualisme kepemimpinan Partai Demokrat, AHY dan Moeldoko.