Kalkulasi eksportir per ekor benur sampai di Vietnam negara tujuan ekspor menghabiskan Rp 25.000 dan harga di Vietnam 70.000 VND untuk jenis pasir atau sekitar Rp 42.700, benih lobster mutiara keuntungannya lebih besar lagi. Pasaran mutiara 300.000 VND per ekor atau sekitar Rp 183.000.
Dengan keuntungan yang menggiurkan ini mafia benur berusaha untuk terus melanjutkan usaha ilegalnya. Ulah mafia berhasil menggagalkan penjualan benur ke Vietnam secara legal. Sebab mereka dirugikan dengan adanya izin ekspor dan menyebabkan harga benur terjun bebas di bawah 1 dolar selama ekspor benur diijinkan.
Kaki tangan Bandar benur disebar untuk bisa mendapat benur sebanyak banyaknya. Para nelayan diberi modal untuk membuat sarana tangkap termasuk jaring dan genset, perahu, keramba apung/bagan maupun lampu celup senilai Rp30-35 juta perorang.
Dengan syarat hasil tangkapan harus diserahkan ke pemberi modal dengan harga yang sudah ditentukan.
Tidak hanya mafia kelas atas diuntungkan dengan perdagangan gelap benih lobster. Pengepul juga berkiprah. Pembeli ditawari dengan beberapa opsi. Jika ingin diprioritaskan calon pembeli diminta dana kerjasama investasi Rp 100-200 juta dan dipastikan mendapat benur dengan harga di bawah pasaran.
Dijamin benur yang dibeli aman sampai di tempat tujuan (Kediri, Surabaya, Jakarta, Batam, Medan, Denpasar, Yogyakarta). Sementara pembeli bebas harus berebut untuk mendapat benur dengan harga umum dengan resiko ditangkap aparat, barangya disita dan diperkarakan di pengadilan.
Nelayan paling diuntungkan dengan kondisi ini. Mereka bebas menangkap benur tanpa khawatir ditangkap atau diperkarakan. Alat tangkap bebas dilabuh di kolam dermaga milik Pemprov Jatim tanpa pernah diusik oleh aparat Keamanan Laut Terpadu (Kamladu) yang menempati kantor atau penjagaan di pelabuhan.
Hasil tangkapan semalam rata rata nelayan bisa mengantongi Rp 250-300 ribu. Penghasilan yang fantastis dibanding ketika masih menjadi nelayan tangkap dengan pendapatan Rp 75-100 ribu per hari. Dampak dari alih profesi dari nelayan tangkap ke nelayan benur, pemilik kapal ikan atau juragan kapal kerap mengeluh susah mencari ABK.
Pemerintah kurang tanggap dan tidak tegas menjalankan regulasi yang dibuatnya sendiri. Persoalan BBL ini kuncinya ada di hatchery atau membuat pembenihan sendiri serta menggalakkan budidaya lobster sehingga tidak lagi tergantung dari benih dan lobster tangkapan alam.
Regulasi bagi eksportir BBL untuk melibatkan pembudidaya sebetulnya sudah ideal tetapi tidak dijalankan secara konsisten. Bagi mafia benur yang sudah menguasai peredaran dan mempunyai jaringan tampaknya lebih menikmati jika benur tetap dilarang diekspor. Kita tunggu kiprah Nakhoda baru KKP melamawan atau berdamai dengan mafia benur. (*)
Oki Lukito : Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan