Oleh Djoko Tetuko – Pemimpin Redaksi WartaTransparansi.com
Corona Virus Disease (Covid-19) meluluhlantakkan dunia, 200 negara lebih menerima serangan virus ajaib mematikan dengan isu awal “virus politik”, sehingga sempat diragukan keberadaan pandemi ini.
Negara super power abad digital, Amerika Serikat, Rusia (dan sejumlah negara pecahan Uni Soviet), Jepang, Korea Selatan, India, “menyerah” dengan berbagai diplomasi atas krisis kesehatan dengan begitu terstruktur, sistemik, dan masif menghantam perekonomian.
Benua biru sebagai negara priyai, Inggris, Perancis, Itali, Belanda, Jerman, Spanyol, Portugal, dan negara blok eropa timur, Brazil, Meksiko, Afrika, timur tengah semua “terpapar” dalam krisis kesehatan dan krisis ekonomi.
Data dari World O Meters, Selasa (29/12/2020) mengonfirmasi sebanyak 81.669.521 kasus virus Corona di dunia dan 1.781.442 wafat secara kumulatif.
Per hari ini, data pasien yang sembuh akibat virus COVID-19 yang mematikan ini juga terus bertambah, yakni 57.795.786 orang.
- Amerika Serikat masih menjadi negara dengan kasus Corona terbanyak di dunia dengan 19.781.624 kasus, 343.182 wafat, dan 11.696.727 pasien sembuh.
- Di posisi kedua ada India yang mengonfirmasi 10.224.797 kasus, 148.190 wafat, dan 9.806.767 pasien sembuh.
- Disusul urutan ketiga dunia Brasil dengan 7.506.890 kasus, 191.641 orang wafat, dan 6.568.898 pasien sembuh.
Selanjutnya berturut-turut dari posisi keempat hingga 10 negara dengan kasus Corona terbanyak bisa dilihat dalam daftar berikut ini:
4. Rusia: 3.078.035 kasus, 55.265 orang wafat, dan 2.471.309 pasien sembuh.
5. Prancis: 2.562.646 kasus, 63.109 orang wafat, dan 190.722 pasien sembuh.
6. Inggris: 2.329.730 kasus dan 71.109 orang wafat.
7. Turki: 2.162.775 kasus, 20.135 orang wafat, dan 2.037.433 pasien sembuh.
8. Italia: 2.056.277 kasus, 72.370 orang, dan 1.408.686 pasien sembuh.
9. Spanyol: 1.894.072 kasus dan 50.122 orang wafat
10. Jerman: 1.670.194 kasus, 31.176 orang wafat, dan 1.255.700 pasien sembuh.
Indonesia per hari ini, posisinya juga masih sama yakni berada di urutan ke-20 dengan 719.219 kasus, 21.452 orang meninggal dunia, dan 589.978 pasien sembuh.
Resesi
Dikutip dari Business Insider, (31/6/2020), National Bureau of Economic Research (NBER) menyebut ada sejumlah indikator lain yang bisa digunakan untuk mengetahui apakah suatu negara mengalami resesi atau tidak.
Di antaranya adalah tingkat pekerjaan, Pendapatan Domestik Bruto (PDB), penjualan grosir-eceran, dan produksi industri.
Secara sederhana, resesi dipahami sebagai sebuah kondisi di mana terjadi penurunan di segala sektor ekonomi selama beberapa kuartal.
Lebih spesifik, Ekonom Julius Shiskin (1974) menyebut kondisi ekonomi suatu negara bisa disebut mengalami resesi apabila Produk Domestik Bruto (PDP) turun selama 2 kuartal berturut-turut.
Sementara Julius Shiskin (1974), sebagaimana dikutip dari The Balance.com disebutkan ada 6 indikator yang lebih presisi untuk mengetahui apakah resesi sudah terjadi.
Keenam indikator tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penurunan produk nasional bruto (PDB) selama 2 kuartal berturut-turut;
2. Penurunan PDB sebanyak 1,5 persen;
3. Penurunan kegiatan manufaktur selama periode 6 bulan;
4. Penurunan pekerjaan non-pertanian sebesar 1,5 persen
5. Menurunnya jumlah lapangan kerja di lebih dari 75 persen industri selama 6 bulan atau lebih;
6. Peningkatan angka pengangguran sebanyak 2 poin, minimal di angka 6 persen.
Shisken membuat poin-poin diatas sebagai upaya memberikan definisi kuantitatif, karena pada tahun 1974 banyak orag yang tidak yakin apakah negaranya dalam kondisi resesi atau tidak.
Saat itu, kondisinya adalah stagflasi, artinya pertumbuhan ekonomi menurun dan pengangguran meningkat dalam waktu yang sama.
Singapura juga mengalami resesi, akibat penutupan yang cukup lama pada sejumlah sektor bisnis terutama perdagangan akibat mewabahnya pandemi virus corona (Covid-19).
Kebijakan lockdown telah menimbulkan kerusakan pada ekonomi negara yang sangat bergantung dari perdagangan.
Resesi bisa diartikan ketika suatu negara mengalami kontraksi ekonomi dua kuartal berturut-turut atau lebih dari satu tahun.
Selain Singapura, sejumlah negara juga mengalami resesi akibat pandemi virus corona seperti Jepang dan Jerman.
Kawasan Eropa misalnya. Dalam pembacaan terbarunya, ekonomi telah melemah ke level terparah, paling tajam sejak 1995.
Secara basis kuartalan (QtQ), produk domestik bruto (PDB) Eropa merosot 11,8% pada kuartal II 2020 ini. Menyusul penurunan sebesar 3,7% di kuartal I 2020.
“Ini adalah penurunan paling tajam yang diamati sejak rangkaian waktu dimulai pada tahun 1995,” tulis Eurostat, badan statistik kawasan itu, dikutip Rabu (9/9/2020).
Dalam skala tahunan, PDB turun 14,7% di kuartal II 2020. Ini mengikuti penurunan 3,2% di kuartal I 2020.
Eurostat mengatakan bahwa ekonomi Spanyol menunjukkan kinerja terburuk dengan kontraksi kuartalan 18,5% pada April-Juni. Sedangkan penurunan PDB terendah dilami Finlandia.
Sebelumnya ada 44 negara lainnya yang resmi resesi. Berikut rangkumannya dari Trading Economics dengan pencantuman data kuartal paling akhir secara YoY:
1. Afrika Selatan (0)
2. Albania (-3)
3. Angola (-2)
4. Arab Saudi (-1)
5. Argentina (-5)
6. Austria (-13)
7. Bahrain (-1)
8. Barbados (0)
9. Belanda (-9)
10. Belgia (-14)
11. Belize (-4)
12.Brasil (-11,4)
13. Ekuador (-1)
14. Filipina (-16)
15. Finlandia (-5)
16. Guyana Khatulistiwa (-6)
17. Hong Kong (-9)
18. Inggris (-22)
19. Iran (-10)
20. Italia (-17)
21. Jepang (-10)
22. Jerman (-12)
23. Kanada (-13)
24. Latvia (-10)
25. Lebanon (-5)
26. Lebanon (-5)
27. Lituania (-4)
28. Makau (-68)
29. Meksiko (-19)
30. Mongolia (-10)
31. Palestina (-3)
32. Peru (-30)
33. Portugal (-16)
34. Republik Ceska (-11)
35. Singapura (-13)
36. Slowakia (-12)
37. Spanyol (-22)
38. Sudan (-2)
39. Swiss (-9)
40. Thailand (-12)
41. Tunisia (-22)
42. Ukraina (-11)
43.Venezuela (-27)
44.Yunani (-15,2%)
Akibat resesi dengan kontraksi sangat signifikan, maka roda ekonomi dunia secara makro “terpapar”.
Dalam pengamatan dan analisa Bank Dunia, jika negara-negara di wilayah Asia Selatan bakal terpukul keras karena corona. Bahkan, terburuk dalam 40 tahun terakhir.
Minggu (12/4/2020), meski jumlah kasus masih tergolong sedikit dibandingkan Amerika Serikat (AS) dan Eropa, kawasan ini dikhawatirkan para ahli bisa menjadi episentrum baru COVID-19. Apalagi, India, Bangladesh, Pakistan, Afghanistan dan negara-negara kecil lain memiliki beberapa kota terpadat di bumi.
“Asia Selatan bisa menjadi yang terpukul buruk. Pariwisata terhenti, rantai pasokan terganggu, permintaan garmen jatuh, sentimen konsumen dan investor telah memburuk,” kata laporan Bank Dunia, dikutip dari AFP.
Pertumbuhan diperkirakan menjadi 1,8-2,8%, dari proyeksi pra-pandemi 6,3%. Bahkan setidaknya setengah negara jatuh ke dalam “resesi mendalam”.
Efek pandemi kepada sektor ekonomi, sudah terlihat mengerikan, dengan banyaknya penguncian (lockdown) daerah, penutupan bisnis yang membekukan sebagian besar aktivitas normal, pesanan pabrik yang dibatalkan serta PHK besar-besaran,” tulis Bank Dunia.
Maladewa bakal jadi wilayah yang terpukul parah. Di mana merosotnya pariwisata akan mengakibatkan produksi domestik bruto menyusut sebanyak 13%.
Hal ini juga terjadi di Afganistan, di mana pertumbuhan akan menyusut sebanyak 5,9%. Sementara Pakistan hingga 2,2 persen.
Ekonomi India hanya akan tumbuh 1,5-2,8 % pada tahun fiskal 2020. Di 2019, ekonomi diperkirakan 4,8-5,0%.
Laporan tersebut juga memperingatkan bahwa pandemi ini akan memperkuat ketidaksetaraan di wilayah tersebut,. Terutama kepada pekerja informal dengan akses terbatas atau tidak ada sama sekali terhadap perawatan kesehatan atau keselamatan sosial.
Di India, misalnya, keputusan lockdown mendorong ratusan ribu pekerja migran untuk kembali ke desa asal mereka, tidak sedikit yang berjalan kaki.
“Pemerintah perlu meningkatkan tindakan untuk darurat kesehatan, melindungi rakyat mereka, terutama yang paling miskin dan paling rentan, dan mengatur panggung sekarang untuk pemulihan ekonomi yang cepat,” tandas Bank Dunia.
Dalam jangka pendek ini, pemerintah harus mempersiapkan sistem perawatan kesehatan, menyediakan jaring pengaman . Termasuk mengamankan akses ke makanan, pasokan medis, dan kebutuhan untuk yang paling rentan.