Dhimam Abror : Pilwali Surabaya Harus Menjadi Pendidikan Politik Yang Sehat & Bermartabat

Dhimam Abror : Pilwali Surabaya Harus Menjadi Pendidikan Politik Yang Sehat & Bermartabat
Dhimam Abror

Terungkap dalam majelis “Cangkrukan Demokrasi Sehat”, uraian dari Abdul Malik, potensi pelanggaran bisa mengarah pada pidana pemilu. “Tinggal bagaimana tim yang ada bisa memilah-milah, bukan sekedar optimis tanpa persiapan. Walau secara kalkulasi hukum, tim MA (Machfud Arifin) mendapat suara lebih besar,” tandas Malik.

Wawasan lebih realitas disampaikan Agus, memaparkan trik dan resep jika pasangnan Cawali-Cawawali bisa memenangkan dalam Pemilukada 9 Desember mendatang. “Menurut saya, baik MA-Mujiaman atau Eri Cahyadi – Armudji belum menjadi figure, capitalism yang mempunyai magnet untuk menggerakan kekuatan social masyarakat, khususnya calon pemilih. Ya, biasa-biasa saja,” ulasnya.

Hal itu, bisa jadi tim yang ada di kedua kubu, lebih percaya diri terhadap penghitungan dan mapping suara atau lupa terhadap garapan yang menjadi prioritas.

“Komentar dari auden, pernah pak Machfud saat jalan pagi kemudian secara spontan sarapan bareng dengan penyapu jalanan, petugas kebersihan Pemkot. Ternyata, ada perlakuan tidak adil, sehingga terancam dipecat. Hal itu, kalau mampu dimobilisasi bukan sekedar isu internal, bisa dahsyat,” jelas Agus.
Herman Rifai, mantan Wakil Ketua DPRD dari PAN, Catur, jurnalis dan aktivis lain yang ikut urun rembuk, sepakat, bahwa Surabaya harus menjadi pioneer dan memberikan contoh Pemilukada yang bermartabat dan mampu memilih pemimpin yang punya kepedulian totalitas, khususnya mengatasi perekonomian di era Covid-19 dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

H. Makin Rahmat, selaku Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jatim, menyatakan, Pemilukada adalah bagian dari proses demokrasi dan gerak maju calon pemimpin untuk memberikan konstribusi konsep, pemikiran dan argumentasi program demi amanah yang yang nanti dipegang para calon menjalankan roda pemerintahan lima tahun ke depan.

Strategi saling menjatuhkan, apalagi muncul pemikiran menggarahkan jurnalis, insan pers dan wartawan untuk berpihak, merupakan konsep dan strategi tidak elegan dalam upaya mencerdaskan masyarakat berdemokrasi yang sehat dan bermartabat.

Seiring kemajuan zaman dan teknologi informasi, keterpengaruhan masyarakat pemilih bukan lagi kepada tokoh masyarakat atau top figure, tapi kemampuan untuk mengelola informasi dengan baik dan strategi menjadi mesin buzzer atau inflencer yang mampu menjadi magnet terhadap ucapan dan tindakannya.

“Seharusnya tim MA atau Eri menyadari bahwa media atau pers memang menjadi pilar keempat demoraksi. Tapi, aktualisasi sudah berubah, bukan lagi melalui media cetak semata. Era digital, online, medsos dan siber menjadi bagian rutin yang tidak lepas dari genggaman masyarakat. Jadi, isu-isu yang mampu menggerakan kepedulian, sosiol politik, dan adu konsep pembangunan harus dikedepankan, bukan sekedar janji dan bualan belaka. Kalau nanti, masyarakat berpikir apatis, siapa yang bayar yang dipilih, jelas kemunduran demokrasi. Ingat, semua perbuatan kita akan dihisab,” tandas Makin Rahmat. (min)