Oleh : Dhimam Abror Djuraid
Di Surabaya seminggu terakhir muncul penyakit baru. Bukan virus Covid 19 atau Corona, tapi virus H2C alias “harap-harap cemas”.
Bersamaan dengan itu, muncul juga cabang olahraga baru. Bukan gowes atau joging, tapi olahraga “sport jantung”.
Virus H2C tidak menyerang semua orang.
Pun olahraga sport jantung tidak dialami semua orang. Virus dan olahraga itu hanya dialami oleh mereka yang sekarang berniat maju menjadi calon walikota atau calon wakil walikota Surabaya dari PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan).
Mereka yang daftar lewat mekanisme penjaringan pada deg-degan. Juga yang tiba-tiba nyelonong mem-by pass prosedur penjaringan dan langsung melambung ke DPP (Dewan Pimpinan Pusat), juga tak kalah gemetaran.
Selasa (11/8) beredar kabar rekom bakal turun dan diumumkan jam 10 00 pagi. Semua tegang, memasang kuping, mencari informasi bocoran siapa yang bakal muncul sebagai pemenang rekom.
Tapi, ketika Puan Maharani mewakili DPP PDIP membacakan secara virtual rekomendasi untuk pilkada seluruh Indonesia, nama Surabaya “kancrit” tidak disebut bersama Sidoarjo. Lima daerah lain di Jatim sudah diputuskan rekomnya bersama 75 daerah di seluruh Indonesia.
Bagi yang sudah yakin akan dapat rekom (malah sudah pernah sujud syukur), pasti “mak deg” kaget. Bagi yang setengah yakin bisa dapat rekom (karena mengandalkan domplengan dari orang lain) pasti “mak deg” juga. Bagi lainnya yang harapannya tipis atau mengandalkan nasib baik, pasti “huuff…lega” masih ada waktu untuk bergerak lagi.
Ibarat tradisi pernikahan di Surabaya, sekarang ini belum ada janur lengkung di depan rumah PDIP. Artinya belum ada yang resmi menikah di depan penghulu.
Siapa saja boleh mengklaim sudah dapat restu mertua. Siapa saja boleh mengaku sudah tukar cincin. Siapa saja bebas ngomong sudah menyiapkan mahar besar. Bahkan boleh saja mengaku sudah punya dukun jodoh sakti. Tapi, seperti ungkapan arek Suroboyo, sebelum janur kuning melengkung semua bebas berebut.
Kabarnya janur kuning akan resmi melengkung 19 Agustus. Di sisa waktu tersisa semua calon pengantin makin aktif bersolek dan berkampanye.
Whisnu Sakti Buana makin bersemangat menggerakkan relawannya ke seluruh lapisan kota. Eri Cahyadi yang semula “shy shy cat” malu-malu kucing (kata Tukul Arwana), sekarang lebih berani muncul, dan malah nekat mengumpulkan pendukung di kantornya.
Meski masih berstatus pegawai negeri dan tidak mendaftar ke PDIP Surabaya, tapi Eri bisa mendapat jalur khusus ke DPP, karena Eri disebut-sebut sebagai anak ideologis dan anak birokratis Walikota Tri Rismaharini.
Tapi tiba-tiba dua hari terakhir ini muncul anak biologis Risma, Fuad Banardi, yang kelihatannya mendapat inspirasi atau wangsit dari Solo. Fuad, yang selama ini tidak pernah muncul di pencalonan, tiba-tiba membuat konferensi pers dan mengumumkan siap mengganti ibunya. Fuad rupanya mendapat wangsit dari “Gibran Factor’.
Kalau Fuad sudah mendapat izin ibunya maka Eri bisa ketar-ketir. Tapi siapa tahu keduanya bakal disandingkan sebagai pengantin.
Lalu bagaimana Armuji? Setelah maju, mundur, maju lagi, Armuji didesak wartawan mengenai komentarnya soal “makpro” alias makelar proyek kelas atas di Pemkot Surabaya. Kali ini Armuji pilih no comment.
Siapakah makpro kelas atas itu? No comment. Inisialnya apa? No comment.
Semua nama yang sebelumnya kartu mati seperti hidup lagi. Ketua DPRD Surabaya, Adi “Awi” Sutarwiyono–yang sebelumnya jarang disebut–muncul sebagai calon alternatif. Baktiono pun terus bergerilya. Bahkan Sutjipto Joe Angga juga bangkit bergerak lagi.
Tidak ada yang mustahil dalam politik. Politik adalah the art of possibilities, seni dari segala macam kemungkinan. Sekecil apapun peluang dalam politik bisa berubah menjadi potensi besar dan bahkan menjadi faktor pemenang.
Jangan pernah write-off, mencoret, siapapun dalam politik, karena kejutan bisa terjadi pada detik terakhir injury time maupun extra time.
Siapa sangka Boediono akan menjadi pasangan SBY pada pemilu 2009? Boediono tidak dikenal secara luas, popularitasnya nyaris nol. Tapi, pasangan SBY-Boediono menang telak 60 persen lebih atas pasangan Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto.
Ketika Jokowi mengumumkan nama Ma’ruf Amin sebagai running mate pada pilpres kemarin, banyak yang kaget tidak menduga. Tapi ternyata Jokowi-Ma’ruf menang 55,50 persen dari pasangan kuat Prabowo-Sandi.
Whisnu, Fuad, Eri, Diah Katarina, Puti, Awi, Armuji, Baktiono, Angga, semua masih punya harapan, sebelum janur kuning melengkung. (Dhimam Abror Djuraid – Mantan Ketua PWI Jatim 2 Periode)