Qurban, Sepeda Lipat dan Pancasila

Qurban, Sepeda Lipat dan Pancasila
HM. Zahrul Azhar As, Sip, MKes

Oleh : HM. Zahrul Azhar As, Sip, MKes (Gus Hans)

Kata yang tepat dalam mengawali tulisan ini adalah ungkapan syukur yang tak terhingga atas segala kenikmatan yang kita rasakan dalam berbangsa dan beragama yang telah dilimpahkan Alloh kepada kita semua.

Hari raya qurban dimasa pandemi ini seakan Alloh menunjukan kepada kita bahwa pentingnya kesabaran, pentingnya kemauan untuk saling berbagi dan pentingnya meletakkan ego pribadi ada dalam urutan sekala prioritas hidup kita.

Sejarah bangsa indonesia dalam proses berdirinya melalui liku liku dan dinamika yang berkelok kelok, penuh pengorbanan dimulai dari jerih payahnya melepaskan diri dari upaya melepaskan cengkeraman dari negara negara penjajah hingga terjadinya proses konsolidasi dahsyat yang masiv untuk menyatukan ikatan nasionalisme dari berbagai suku, agama serta latar belakang kewilayahan yang terbentang luas.

Dalam proses peneguhan jatidiiri bangsa dengan penetapan Pancasila sebagai asas tunggal  tidak semudah membalikkan telapak tangan, Asas Tunggal Pancasila secara resmi ditetapkan pada tanggal 19 Februari 1985 yang ditetapkan melalui Undang-Undang No.3/1985 walaupun ide ini sudah terlontarkan beberapa tahun sebelumnya. Hal ini dapat dilihat melalui pidato pidato kenegaraan presiden Soeharto ditahun 1982 atau pun 1983 tentang masih adanya partai yang belum menjadikan Pancasila sebagai asasnya, penafsiran tunggal Pancasila yang seakan menjadi justifikasi atas kebenaran status quo adalah issue yang menyeruak disaat itu.

Pancasila pada saat itu seakan dibenturkan antara  agama dan rezim. Pihak agamawan yang kontra dengan asas tunggal Pancasila menganggap bahwa Pancasila bermaksud untuk mereduksi peran dan posisi agama dibawah Pancasila, teringat pada awal tahun 1980 an presiden Soeharto mendirikan yayasan amal bakti muslim Pancasila yang membangun ratusan masjid dengan ciri khas diatas kubahnya pasti ada lafadh Alloh dalam bingkai segi lima (Pancasila) yang diartikan sebagaian agamawan saat itu seakan “mengurung” Alloh dalam bingkai Pancasila.

Sementara itu Pihak aktifis pro demokrasi menganggap bahwa gencarnya gerakan Pancasilaisasi oleh orde baru hanya sebagai pembenar dari kepentingan kepentingan politik untuk melanggengkan kekuasaan orde baru dengan tafsir tafsir tunggal nya.

Rupanya ujian kedigdayaan Pancasila bukan hanya terjadi pada era tahun 60an saja tapi juga berlanjut ditahun 80 an dengan “jenis ujian” yang berbeda.

NU pada saat itu dibawah kepemimpinan KH Ahmad Siddiq menegaskan tentang posisi organisasi NU yang tak goyah dalam berPANCASILA, beliau tau betul bahwa kelahiran Pancasila juga tidak terlepas dari peran para kiyai kiyai pendahulunya,  begitu juga tentang sikap NU yang tegas menolak kembali kepada piagam Jakarta demi keutuhan bangsa , sehinga pada saat orde baru menyatakan bahwa semua parpol dan ormas harus berazaskan Pancasila maka kyai Ahmad siddiq pun menyatakan “Wong barang sudah sekian lama dimakan kok baru dibahas halal haramnya”. Seakan ingin menyatakan ; “jangan mengajari tentang pacasila karena kita sudah terlibat dalam prose pembuatan nya”.

Pernyataan kyai Ahmad siddiq ini menjadi perbincangan seru diantara para ulama dan beberapa aktifis demokrasi pada saat itu. Pemikiran kyai Ahmad siddiq ini sempat ditanyakan oleh kyak Muchit Muzadi kenapa NU harus berazas Pancasila? Lantas KH. Achmad Siddiq mejawab : “NU sendiri dalam Anggaran Dasarnya yang pertama diterangkan bahwa NU didirikan berdasarkan tujuan-tujuan, bukan asas”