Oleh : Djoko Tetuko (Pemimpin Redaksi Transparansi)
Pelaksanaan Hari Raya Idul Adha tahun ini, jika perhitungan penanggalan tidak berubah 10 Dzulhijjah 1441 Hijriyah, bertepatan dengan 31 Juli 2020, dengan situasi dan kondisi masa pandemi Covid-19, tentu saja banyak perubahan. Paling tidak shalat id (minimal) sama seperti pelaksanaan shalat Idul fitri bagi masjid yang melaksanakan.
Tetapi pelaksanaan penyembelihan hewan kurban, membutuhkan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) dari Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia, maupun organisasi masyarakat keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, menyamakan persepsi juga berbagai kemungkinan berbedaan menjadi kesatuan utuh supaya pelaksanaan kurban berjalan dengan baik, sesuai protokol kesehatan dan sesuai ketentuan syar’i.
Yang pasti, sudah menjadi ketentuan dari Gugus Tugas Penanganan Covid-19, juga sudah menjadi tradisi baru, berlaku protokol kesehatan dengan ketentuan pokok bersifat mengikat; (1) wajib pakai masker, (2) wajib mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, (3) disiram dengan cairan sehat untuk membersihkan virus, (4) menjaga kesehatan dan kebersihan dengan suhu tubuh normal, dan (5) menjaga jarak.
Pengalaman melaksanakan shalat Idul Fitri, insyaAllah pelaksanaan Idul Adha seperti pelaksanaan shalat Idul Fitri 1441 H juga pada masa pendemi virus Corona, alhamdulillah dapat dilaksanakan dengan baik, sesuai protokol kesehatan, termasuk membawa sajadah atau alas untuk sujud karena seluruh lubang kepala potensi penularan.
Tetapi, pelaksanaan penyembelihan hewan kurban, dengan informasi terbaru dari WHO menyatakan dan membenarkan bahwa penularan virus Corona bisa melalui udara, maka untuk menjaga keselamatan dan kesehatan masyarakat, terutama kebiasaan kerumunan dengan kondisi bisa berubah-ubah. Juklak dan Juknis sangat dibutuhkan supaya pelaksnaaan ibadah sunnah muakkad ini berjalan dengan baik, barokah dan manfaat.
Sebagaimana diketahui, kata kurban menurut etimologi berasal dari bahasa Arab qariba – yaqrabu – qurban wa qurbanan wa qirbanan, yang artinya dekat (Ibn Manzhur: 1992:1:662; Munawir:1984:1185). Maksudnya yaitu mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengerjakan sebagian perintah-Nya. Yang dimaksud dari kata kurban yang digunakan bahasa sehari-hari, dalam istilah agama disebut “udhhiyah” bentuk jamak dari kata “dhahiyyah” yang berasal dari kata “dhaha” (waktu dhuha), yaitu sembelihan di waktu dhuha pada tanggal 10 sampai dengan tanggal 13 bulan Dzulhijjah. Dari sini muncul istilah Idul Adha. Dari uraian tersebut, dapat dipahami yang dimaksud dari kata qurban atau udhhiyah dalam pengertian syara, ialah menyembelih hewan dengan tujuan beribadah kepada Allah pada Hari Raya Haji atau Idul Adha dan tiga Hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 bulan Dzulhijjah.
Sedangkan hukum Ibadah kurban adalah sunnah muakkad, atau sunnah yang dikuatkan. Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam, tidak pernah meninggalkan ibadah kurban sejak disyariatkannya sampai beliau wafat. Ketentuan kurban sebagai sunnah muakkad dikukuhkan oleh Imam Malik dan Imam al-Syafi’i. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ibadah kurban bagi penduduk yang mampu dan tidak dalam keadaan safar (bepergian), hukumnya adalah wajib. (Ibnu Rusyd al-Hafid: tth: 1/314).