Bahagia

Bahagia
Gus HM. Mudjib Mustain. Dr.SH.M.Si.
Gus HM. Mudjib Mustain. Dr.SH.M.Si. (Pengajar Tasawwuf Pascasarjana Undar Jombang)

Setiap manusia yang hidup, bahkan mati, cenderung berharap dapat Bahagia. Kebahagian sering diartikan sebagai sesuatu yang terjadi berkesesuaian dengan harapan. Kewajaran jika manusia berpengharapan yang diangan menjadi kenyataan. Ada yang agar dapat merasakan kebahagiaan.

Ada yang berharap menjadi pemimpin berasa bahagia jika memiliki anak buah yang dapat di perintah. Ada yang berharap menjadi pejabat agar dihormati bawahan. Ada yang berharap menjadi kyai agar hidup mulia dan ditaati orang.

Namun fakta kadang berbalik tidak sesuai harapan. Ada yang menjadi preman,bajingan, maling, koruptor, pembohong, germo, penjual ayat qur’an, penjual hadist, ahli fitnah wal jamaah dan sederetan keburukan yang dianggap meresahkan masyarakat.

Namun apakah mereka Bahagia? Tidak ada kebolehan kita menduga bahwa mereka merupakan manusia tidak baik yang secara kasat mata kadang samar seolah Nampak bahagia.

Pada dasarnya manusia yang berperilaku tidak wajar dalam menjalankan keyakinan agamanya atau menyimpang dari garis kebaikan saya yakin dalam hati mereka tidak memiliki ketenangan. Dan, manusia yang tidak memiliki ketenangan cenderung tidak bahagia.

Cinta Tanda Bahagia.

Cinta adalah perasaan yang membahagiakan, menyenangkan hati dan meramaikan kalbu (Asfari Ms dan Otto Sukanto Cr. 1998. Hal.3). Ketika manusia memiliki benih cinta yang sesuai dengan ajaran agama maka cinta itu harus mewujud dalan kebaikan dan

kebenaran. Kebaikan dan kebenaran adalah ajaran agama yang dapat membuat hati putih riang membawa tenteram. Apalagi perbuatan baik diganjari pahala dari Gustialah makamanusia sangat berkelayakan selalu berbuat baik dan benar.

Perbuatan tidak baik, misalnya, berbohong, menipu, menindas, menyakiti hati orang lain bagi pelaku sebenarnya menyisakan kegelisahan, membuat hati kehilangan rasa cinta dan berujung tidak bahagia. Apalagi berbohong dan menipu Gustialah.

Manusia yang suka menyepelekan perintah Gustialah biasanya susah di nasehati karena hatinya sudah mengeras hitam penuh nafsu dunia. Manusia yang disiplin bermaksiat atau melakukan perbuatan tidak baik bagi orang lain secara bertahap menabung dosa maka sejatinya tidak akan pernah merasakan kebahagiaan. Kecuali kebahagiaan semu dan seolah-olah yang pembenarannya adalah argument diri sendiri.

Agama apapun tidak ada yang menganjurkan pengikutnya berbuat tidak baik, berbuat dosa. Jika ada manusia yang melakukan dosa dan berbuat tidak baik maka yang salah manusianya bukan agamanya. Agama islam memiliki cara tersendiri dalam hal kebahagiaan.

Kebahagiaan dan Kenikmatan.

Dalam Islam, kebahagiaan merujuk pada salah satu kata dalam bahasa Arab yang disebut sa’adah. Sa’adah merupakan bentukan dari suku kata sa’ada, yang berarti bahagia.

Definisi kebahagiaan, terutama dalam tradisi ilmu tasawuf, seperti yang disampaikan Imam al-Ghazali, dalam karya mercusuar Ihya Ulumiddin, merupakan sebuah kondisi spiritual, saat manusia berada dalam kepuncakan ketakwaan dan kenikmatan dari Gustialah karena selau membersamai kita.

Menurut tokoh bergelar Hujjatul Islam ini, keujungbahagiaan manusia adalah jika ia berhasil mencapai tahap telah mengenal Gustialah. Katanya, ketahuilah! Kebahagiaan datang bila dalam diri merasakan bahagia dan nikmat padahal kebahagiaan itu menurut tabiat kejadian masing-masing. Kebahagiaan mata ialah melihat rupa yang indah.

Kenikmatan telinga mendengar suara merdu. Demikian pula semua anggota tubuh yang lain dari tubuh manusia. Seorang hamba, rakyat akan bahagia kalau ia dapat berkenalan dengan wazir. Kebahagiaan itu naik berlipat ganda kalau ia dapat berkenalan dengan raja. Tetapi, sesungguhnya kenikmatan hati ialah manut kepada dawuh Gustiallah. Sebuah syair dalam bahasa Arab menyebutkan, “Wa-lastu araa as-sa’adata jam’u maalin wa-laakin at-tuqaa lahiya as-sa’iidu.” Artinya, “kebahagiaan bukanlah mengumpulkan harta benda, tetapi takwa kepada Allah”.

Kebahagiaan merupakan kedamaian bertumakminah mengakibatkan manusia mengenal Gustialah dan memunculkan keimanan karena mengerjakan kebaikan sesuai perintah Gustialah. Juga dengan suka rela meninggalkan larangan dari Gustialah agar nantinya dapat kembali menjadi manusia yang Bahagia. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: (QS. Ar-Ra’d 13: Ayat 29)

Artinya: “Orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka mendapat kebahagiaan dan tempat kembali yang baik”.