Menurut anggota DPRD dari Madura, melihat kasus penolakan itu maka penting bagi pemprov Jawa Timur dan pemkab untuk membuat pengawasan berlapis untuk memastikan setiap jenazah covid-19 muslim yang ditangani oleh gugus tugas provinsi dan kabupaten, tajhiz jenazah dilakukan secara Islami sesuai fatwa MUI, agar gerakan penolakan dan perampasan jenazah tidak semakin meluas dan justru menjadi media baru penyebaran virus ini secara masif.
Bagi beberapa kalangan yang fanatik, lebih baik potensi tertular penyakit daripada saat terakhir orang terkasih tidak terlayani secara islami. Itu paradigma umum di banyak masyarakat utamanya Madura.
Selain itu Pemerintah perlu memaksimalkan peran tokoh lokal meski harus dengan protocol, permisif pada hal yang dianggap prinsip, seperti permintaan mensholatkan meski hanya sejenak. “Agar gerakan penolakan dan perampasan jenazah tidak semakin meluas dan justru menjadi media baru penyebaran virus ini secara masif,” terang Gus Mamak.
Dia menyarankan, perlu memerankan para tokoh agama secara multilevel, pendekatan bukan hanya tokoh agama level prime dan organisasi, namun justru hari ini yang lebih penting adalah tokoh agama skala desa dan kecamatan, karena hari ini dengan keterbatasan akses pada tokoh agama yang lain, merekalah yg sehari hari menjadi rujukan utama. Toh perangkat pemerintahan banyak sekali, bisa dari kepala desa ataupun teman teman Polsek dan Koramil melalui Babinsa nya.
Kebetulan di daerah saya kecamatan Camplong, Polsek dan Koramil sangat kooperatif dalam upaya cipta kondisi, sinerginya dengan segala lapisan juga luar biasa. Kalau ini ditiru dan diterapkan di daerah lain di Jawa timur, saya yakin benturan pemahaman terkait Sinkronisasi prosedur medis dan dogmatis dalam penanganan jenazah covid 19 akan bisa diminimalisir. (min)