JAKARTA (WartaTransparansi.com) – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengerahkan beberapa stimulus fiskal baru dalam rangka menopang perekonomian Indonesia yang sedang tertekan akibat berbagai gejolak global termasuk wabah virus Corona atau COVID-19.
“Untuk kebijakan fiskal kita lakukan seluruh pilihan policy yang pernah kita lakukan seperti 2008-2009. Semua pilihan dibuka meski sumbernya beda tapi dampaknya ke sektor keuangan mirip,” katanya di Kantor DJP, Jakarta, Selasa.
Sri Mulyani mengatakan pemerintah berencana menunda pemungutan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang saat ini pembahasan dan persiapanya telah mencapai 95 persen.
“Kita sudah siapkan mekanisme terkait kita berikan berapa bulan dan scopenya berapa saja atau sektor yang ditarget apa saja jadi kita sudah kalkulasi sehingga dari sisi pembahasan teknis di Kemenkeu 95 persen sudah selesai,” katanya.
Tak hanya PPh Pasal 21, Sri Mulyani mengatakan pemerintah juga menyiapkan stimulus fiskal melalui PPh Pasal 25 agar dapat memberi stimulus bagi pengusaha untuk terus menjalankan proses produksi.
“Pasal 25 untuk korporasi juga kita consider yang mekanismenya sudah kita siapkan hanya persoalannya untuk berapa lama dan sektor apa saja yang belum,” katanya.
Berikutnya, pemerintah turut mengkaji pemberian stimulus fiskal melalui PPh Pasal 22 mengenai pajak kegiatan impor barang konsumsi agar industri manufaktur yang membutuhkan impor barang modal dapat segera dilakukan.
“Pasal 22 bea masuk pajak impor juga disiapkan berhubungan dengan arus barang supaya industri manufaktur yang butuhkan impor barang modal untuk segera,” katanya.
Ia berharap dengan adanya rencana stimulus fiskal lewat PPh Pasal 22 maka Kementerian Perindustrian dan Pemerintah Daerah dapat turut mendorong industri untuk mencari subtitusi impor.
“Kita harap industri dalam energi bisa substitusi. Kita berharap Kemenperin dan Pemda mendorong industri-industri ini untuk cari substitusi impor,” ujarnya.
Selain itu, Sri Mulyani mengatakan pemerintah akan mempercepat pengembalian restitusi pajak dan meningkatkan batasannya dari Rp1 miliar menjadi Rp5 miliar untuk mendorong belanja masyarakat.
“Restitusi dipercepat dalam rangka cash flow. Kalau masyarakat tidak bergerak maka penerimaan jadi lebih rendah dan cash flow sangat penting,” ujarnya. (guh)