Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), ternyata masih bernafas kolonial, dimana di tengah-tengah upaya menjunjung tinggi demokrasi guna mewujudkan kedaulatan di tangan rakyat.
Justru sejumlah pasal menjerat masyarakat dan insan pers, diancam pidana dan denda. Sehingga kemerdekaan pers benar-benar terancam, Bahkan tidak tertutup kemungkinan akan mengalami masa suram, jika tdak perubahan secara nyata dengan penjelasan secara terbuka dari kalangan wakil rakyat.
Alhamdulillah Presiden Joko Widodo setelah mengundang sejumlah tokoh nasional, dan mendengarkan aspirasi mahasiswa seluruh nusantara melalui unjuk rasa serentak, sudah mengumumkan menunda pengesahan RUU KUHP.
Sejumlah perwakilan organisasi jurnalis telah menyampaikan masukan kepada Ketua DPR Bambang Soesatyo. Sebelumnya, Dewan Pers dan organisasi jurnalis mengeluarkan pernyataan sikap atas materi muatan RUU KUHP. Kalangan pers menganggap ada beberapa pasal yang perlu ditinjau ulang.
Dalam pernyataan resmi yang dirilis pada 18 September lalu mengingatkan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Dewan Pers telah mempelajari RUU KUHP dan menilai ada pasal-pasal yang dapat mengganggu kemerdekaan pers. “Berpotensi mengancam kemerdekaan pers yang bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers”.
Aksi demo wartawan hampir di beberapa tempat, memprotes beberapa pasal yang sudah jelas mengancam kemerdekaan pers, sehingga insan pers, wartawan atau jurnais serta perusahaan sebagai pers nasional, akan mengalami menyensoran secara profesional dan pemberedelan media pers dengan model memenjarakan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan mempailitkan. Beberapa pasal sangat mengancam dan merugikan insan pers,antara lain;
Pertama, Pasal 217-220 (tindak pidana terhadap martabat presiden/wapres). Keempat pasal ini termasuk yang dikritik jurnalis dalam RUU KUHP, yakni pasal-pasal yang mengatur penyerangan terhadap martabat presiden dan wakil presiden.
Pers dapat terkena pasal penyerangan kehormatan atau harkat presiden/wakil presiden; atau menyiarkan penyerangan kehormatan presiden/wakil presiden. Pasal 2018 ayat (1) RUU menyebutkan setiap orang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden/wapres di muka umum dipidana penjara paling lama 3,5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Pasal 219 RUU lebih mengancam lagi para pekerja jurnalistik karena ada larangan menyirakan atau memperdengarkan rekaman atau mempertunjukkan gambar peristiwa penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden/wapres tersebut.
Memang, ada pengecualian dalam kalimat yang multitafsir: “tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri”. Apa yang dimaksud dan apa batasan kepentingan umum?
Bagian Penjelasan pasal ini dalam RUU menjelaskan perbuatan ‘menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri’ pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri presiden/wapres di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.
Dijelaskan pula bahwa ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik atau pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah. Delik pasal dalam pasal-pasal ini adalah delik aduan. Tetapi Presiden dapat memberikan kuasa kepada pejabat pemerintah untuk mengadukan pelaku.
Kedua, Pasal 240-241 (penghinaan kepada pemerintah) Selain perbuatan menyerang martabat presiden/wakil presiden, RUU KUHP mengatur ancaman lain terhadap setiap orang. Pasal 240-241 RUU KUHP mengancam pidana penjara maksimal 3 tahun bagi setiap orang yang menghina pemerintah yang sah di muka umum yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat.
Ancaman terhadap pers secara jelas dapat dilihat dalam Pasal 241 RUU karena mengancam pidana siapapun yang ‘menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah”. Syaratnya, penyiaran informasi itu bertujuan agar penghinaan diketahui umum dan ada akibatnya berupa keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat.
Istilah ‘keonaran’ dalam RUU ditafsirkan sebagai suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang (anarkis) yang menimbulkan keributan, kerusuhan, kekacauan, dan huru hara.
Ketiga, Pasal 246-247 (penghasutan untuk melawan penguasa umum). Seseorang yang menghasut, baik lisan maupun tulisan penguasa umum dapat dipidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda Kategori V. Perbuatan itu dapat berupa menghasut orang untuk melakukan tidana atau menghasut orang lain untuk melawan penguasa umum dengan kekerasan.
Sebagaimana rumusan lain, RUU KUHP juga mengancam pidana setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan, memperdengarkan, atau menyebarluaskan informasi yang berisi hasutan. Pasal ini juga terkait erat dengan perbuatan ‘mentransmisikan, distribusi, dan membuat dapat diaksesnya informasi dan dokumen elektronik dalam sistem elektronik’ yang disebut dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Rumusan inilah yang dikritik kalangan pers.
Keempat, Pasal 262-263 (penyiaran berita bohong). Pasal 262 RUU KUHP mengancam pidana penjara atau denda setiap orang yang menyiarkan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan itu bohong yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat. Yang diancam bukan hanya orang yang jelas mengetahui, tetapi juga patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong.