Jumat, 29 Maret 2024
32 C
Surabaya
More
    OpiniRUU KUHP Ancam Kemerdekaan Pers
    Oleh : Abu Nuriya

    RUU KUHP Ancam Kemerdekaan Pers

    Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), ternyata masih bernafas kolonial, dimana di tengah-tengah upaya menjunjung tinggi demokrasi guna mewujudkan kedaulatan di tangan rakyat.

    Justru sejumlah pasal menjerat masyarakat dan insan pers, diancam pidana dan denda. Sehingga kemerdekaan pers benar-benar terancam, Bahkan tidak tertutup kemungkinan akan mengalami masa suram, jika tdak perubahan secara nyata dengan penjelasan secara terbuka dari kalangan wakil rakyat.

    Alhamdulillah Presiden Joko Widodo setelah mengundang sejumlah tokoh nasional, dan mendengarkan aspirasi mahasiswa seluruh nusantara melalui unjuk rasa serentak, sudah mengumumkan menunda pengesahan RUU KUHP.

    Sejumlah perwakilan organisasi jurnalis telah menyampaikan masukan kepada Ketua DPR Bambang Soesatyo. Sebelumnya, Dewan Pers dan organisasi jurnalis mengeluarkan pernyataan sikap atas materi muatan RUU KUHP. Kalangan pers menganggap ada beberapa pasal yang perlu ditinjau ulang.

    Dalam pernyataan resmi yang dirilis pada 18 September lalu mengingatkan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

    Dewan Pers telah mempelajari RUU KUHP dan menilai ada pasal-pasal yang dapat mengganggu kemerdekaan pers. “Berpotensi mengancam kemerdekaan pers yang bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers”.

    RUU KUHP Ancam Kemerdekaan Pers

    Aksi demo wartawan hampir di beberapa tempat, memprotes beberapa pasal yang sudah jelas mengancam kemerdekaan pers, sehingga insan pers, wartawan atau jurnais serta perusahaan sebagai pers nasional, akan mengalami menyensoran secara profesional dan pemberedelan media pers dengan model memenjarakan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan mempailitkan. Beberapa pasal sangat mengancam dan merugikan insan pers,antara lain;

    Pertama, Pasal 217-220 (tindak pidana terhadap martabat presiden/wapres). Keempat pasal ini termasuk yang dikritik jurnalis dalam RUU KUHP, yakni pasal-pasal yang mengatur penyerangan terhadap martabat presiden dan wakil presiden.

    Pers dapat terkena pasal penyerangan kehormatan atau harkat presiden/wakil presiden; atau menyiarkan penyerangan kehormatan presiden/wakil presiden. Pasal 2018 ayat (1) RUU menyebutkan  setiap orang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden/wapres di muka umum dipidana penjara paling lama 3,5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Pasal 219 RUU lebih mengancam lagi para pekerja jurnalistik karena ada larangan menyirakan atau memperdengarkan rekaman atau mempertunjukkan gambar peristiwa penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden/wapres tersebut.

    Memang, ada pengecualian dalam kalimat yang multitafsir: “tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri”. Apa yang dimaksud dan apa batasan kepentingan umum?

    Bagian Penjelasan pasal ini dalam RUU menjelaskan perbuatan ‘menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri’ pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri presiden/wapres di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.

    Baca juga :  Wahai Jiwa yang Tenang!

    Dijelaskan pula bahwa ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik atau pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah. Delik pasal dalam pasal-pasal ini adalah delik aduan. Tetapi Presiden dapat memberikan kuasa kepada pejabat pemerintah untuk mengadukan pelaku.

    Kedua, Pasal 240-241 (penghinaan kepada pemerintah) Selain perbuatan menyerang martabat presiden/wakil presiden, RUU KUHP mengatur ancaman lain terhadap setiap orang. Pasal 240-241 RUU KUHP mengancam pidana penjara maksimal 3 tahun bagi setiap orang yang menghina pemerintah yang sah di muka umum yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat.

    Ancaman terhadap pers secara jelas dapat dilihat dalam Pasal 241 RUU karena mengancam pidana siapapun yang ‘menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah”. Syaratnya, penyiaran informasi itu bertujuan agar penghinaan diketahui umum dan ada akibatnya berupa keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat.

    Istilah ‘keonaran’ dalam RUU ditafsirkan sebagai suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang (anarkis) yang menimbulkan keributan, kerusuhan, kekacauan, dan huru hara.

    Ketiga, Pasal 246-247 (penghasutan untuk melawan penguasa umum). Seseorang yang menghasut, baik lisan maupun tulisan penguasa umum dapat dipidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda Kategori V. Perbuatan itu dapat berupa menghasut orang untuk melakukan tidana atau menghasut orang lain untuk melawan penguasa umum dengan kekerasan.

    Sebagaimana rumusan lain, RUU KUHP juga mengancam pidana setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan, memperdengarkan, atau menyebarluaskan informasi yang berisi hasutan. Pasal ini juga terkait erat dengan perbuatan ‘mentransmisikan, distribusi, dan membuat dapat diaksesnya informasi dan dokumen elektronik dalam sistem elektronik’ yang disebut dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Rumusan inilah yang dikritik kalangan pers.

    Keempat, Pasal 262-263 (penyiaran berita bohong). Pasal 262 RUU KUHP mengancam pidana penjara atau denda setiap orang yang menyiarkan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan itu bohong yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat. Yang diancam bukan hanya orang yang jelas mengetahui, tetapi juga patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong.

    Bahkan Pasal 263 RUU mengancam pula siapapun yang menyiarkan kabar yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap sedang diketahuinya atau patut diduga bahwa kabar tersebut dapat mengakibatkan keonaran di masyarakat. Rumusan ini berbeda dari pasal sebelumnya. Pasal 262 menyebutkan istilah ‘berita’ atau ‘pemberitahuan’; sedangkan Pasal 263 menyebut istilah ‘kabar’. Tidak ada penjelasan tentang perbedaan ketiga kata itu. Yangdijelaskan adalah tindak pidana dalam Pasal 262 dikenal sebagai tindak pidana proparte dolus proparte culpa.

    Baca juga :  Wahai Jiwa yang Tenang!

    Kelima, Pasal 281 (gangguan dan penyesatan proses peradilan). Dunia jurnalistik terancam rumusan dalam pasal ini terutama berkaitan dengan pemberitaan tentang materi sidang. Jurnalis, menurut ketentuan ini, harus mendapatkan izin dari pengadilan jika ingin merekam atau mempublikasikan sidang pengadilan. Pasal ini dikenal juga sebagai ketentuan contempt of court.

    Pers mengkhawatirkan risiko memberitakan acara sidang jika harus selalu mendapat izin dari pengadilan. Siapakah yang memberikan izin (ketua pengadilan atau ketua sidang), dan bagaimana mekanisme permohonan izin (lisan atau tertulis).

    Keenam, Pasal 304-306 (tindak pidana terhadap agama). Setiap orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dikualifikasi melakukan tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama. Pasal 304 RUU mengancam pelakunya hukuman penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Kategori V.

    Selain itu, orang yang menghasut di muka umum dengan maksud meniadakan keyakinan seseorang dapat dipidana penjara atau denda. Pembentuk undang-undang ingin mencegah ‘benturan dalam masyarakat’.

    Ancaman bagi pers terdapat dalam rumusan berikutnya. Menyiarkan informasi atas perbuatan tadi dengan maksud untuk diketahui umum juga dapat dipenjara. Jika orang melakukan perbuatan itu dalam menjalankan profesinya justru bisa diperberat hukumannya, sebagaimana disebut Pasal 305 ayat (2) RUU KUHP.

    Ketujuh, Pasal 353-354 (penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara).Selain tindak pidana terhadap martabat presiden/wapres, penghinaan terhadap pemerintah, dan penghasutan terhadap penguasa umum, ada lagi tindak pidana terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Menghina di muka umum kekuasaan umum atau lembaga negara, dan jika perbuatan ini menyebabkan keonaran dalam masyarakat hukumannya dapat diperberat.

    Jika tidak menyebabkan keonaran, maka penghinaan atas kekuasaan umum atau lembaga negara hanya dapat diproses jika ada pengaduan dari pihak yang dihina. Pasal ini dimaksud agar kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati. Apa yang dimaksud kekuasaan umum? Pembentuk undang-undang hanya memberi contoh yakni DPR, DPRD, polisi, jaksa, gubernur, atau bupati/walikota.

    Pasal 354 RUU mengancam pidana siapapun yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara.

    Kedelapan, Pasal 440 (pencemaran nama). KUHP juga mengatur pencemaran nama seseorang dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal itu diketahui umum. Ancaman atas perbuatan ini akan lebih berat jika pencemaran dilakukan secara tertulis atau disiarkan.

    Baca juga :  Wahai Jiwa yang Tenang!

    Sifat dari perbuatan pencemaran adalah jika perbuatan penghinaan yang dilakukan dengan cara menuduh, lisan atau tulisan atau gambar, yang menyerang kehormatan dan nama seseorang, sehingga merugikan orang tersebut. Perbuatan yang dituduhkan tidak perlu harus suatu tindak pidana. Cuma, dijelaskan, objek tindak pidana menurut ketentuan ini adalah orang perorangan. Penistaan terhadap lembaga pemerintah atau sekelompok orang tidak termasuk dalam ketentuan ini.

    Kesembilan, Pasal 446 (pencemaran orang mati). Pers juga berpotensi diancam pidana jika seorang jurnalis dalam menjalankan profesinya melakukan pencemaran atau pencemaran tertulis terhadap; orang yang sudah mati. Tetapi pelaku tindak pidana dalam rumusan ini tidak akan dituntut jika tidak ada pengaduan dari kerabat orang yang meninggal, atau orang uang menjalankan kekuasaan ayah pada masyarakat matriarkat.

    Pada bagian Penjelasan disebutkan bahwa tindak pidana dalam konteks ini terjadi jika seseorang dengan suatu perbuatan menimbulkan persangkaan bahwa orang lain melakukan tindak pidana, sedangkan persangkaan itu tidak benar. Misalnya menuduh X yang sudah meninggal pernah melakukan pencurian jam tangan milik Y, padahal tuduhan itu tidak benar.

    Beberapa rumusan dari sembilan permasalahan dalam RUU KUHP, sudah jelas-jelas membelenggu dan mengancam kehidupan pers yang bebas, profesional, proporsiona dan bertanggung jawab. Sebab UU Pers sudah jelas menyatakan dalam konsideran bahwa :

    Pertama, kemerdekaan pers merupakan salah satu  wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat,         berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran  dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28  Undang-undang  Dasar 1945 harus dijamin;

    Kedua, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang      demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki,           yang diperlukan untuk menegakkan  keadilan  dan kebenaran, memajukan kesejateraan      umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

    Ketiga, pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan  pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya    dengan  sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional sehingga  harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun; Dan, keempat, pers  nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia  yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;

    Oleh karena itu, ke depan insan pers harus tetap mempertahankan kemerdekaan pers tanpa tawar menawar, dengan tetap mengedepankan kebebasan melakukan kinerja jurnalistik dengan menghasikan karya jurnaistik yang mematuhi UU Pers, dengan senantiasa menunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik sebagai koridaor melahirkan karya profesional, bermartabat, dan beratanggung jawab.

    Berita Terkait

    Jangan Lewatkan