Harus diakui, pelayanan terhadap Jemaah haji tahun 2019 lebih baik. Setidaknya, saat tiba di Hotel Loloat Asheil, Rumah 604 Sektor 6 kawasan Mahbas Jin, Mekah, mendapat sambutan cukup meriah dari Muasasah. Diberikan kurma, minuman zamzam dan cinderamata tasbih. Setelah istirahat cukup, hasil musyawarah diputuskan thowaf umrah wajib dilaksanakan usai sholat Isha. Walau sedikit kocar-kacir, beberapa Jemaah tidak bisa menyatuh dengan rombongan, secara umum rangkaian thowaf dan sai hingga tahalul umroh wajib, sukses.
Esok hari, Kamis (1/8/2019), selaku petugas TPHD melakukan kordinasi dan evaluasi dengan Tim Kloter, Karom, Karu dan Amirul Hajj KBIHU Rohmatul Ummah, disepakati Hingga hari Jumat (2/8) Jemaah istirahat dan memperbanyak ibadah di masjidil Harom. Setidaknya, bisa merasakan sholat Jumat di masjidil Harom.
Sesuai program, Sabtu (3/8/2019), melaksanakan umroh kedua dengan mengambil miqot di masjid Ji’ronah. Menjadi kewajiban KBIH dengan tim yang ada di Mekah, maka proses keberangkatan umroh sedikit terhambat. Mungkin karena satu kloter 70 satu KBIH sehingga gampang untuk penyesuaian.
Dari rangkaian ibadah, mulai niat di masjid Ji’ronah, didahului ziarah ke Jabal Tsur, Padang Arofah dengan Jabal Rahmah, dilanjutkan mengikuti tapak tilas haji di Mina dan Muzdalifah, semua bisa berjalan baik. Sampai tiba di halaman masjidil Harom yang menjelang sholat Dzuhur agak menyulitkan Jemaah untuk mendapatkan lokasi strategis. Terpaksa, Jemaah sholat di halaman masjid yang suhunya mencapai 49’C.
Menjelang pelaksanaan wukuf, KBIHU Rohmatul Ummah memang terus melakukan konrdinasi insentif antar Karom, Ketua Regu (Karu) denggan petugas Kloter 70 khususnya Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) dibawah komanda dr. Teguh. Setidaknya, selain terus menerus menyisir kondisi Jemaah dari kamar ke kamar yang tersebar di lt 11, 12, 13, 14, 15 dan 16, paramedis TKHI juga fokus pada kondisi Jemaah yang mengalami sakit.
Dari data yang dicatat KBIHU Rohmatul Ummah, sekitar 16 jemaah memilih Tanazul (pelaksanaan ibadah haji memilih proses tersendiri, baik yang mandiri atau pendampingan, termasuk pengurangan hari hari karena izin khusus). Alhamdulillah, semua tertangani dengan baik termasuk kegiatan istighotsah.
Kabar duka wafatnya Syaichona Al Alim, KH. Maimoen Zoebair, pengasuh pondok pesantren Al-Anwar, Sarang, Jawa Tengah, pada hari Selasa (6/8/2019) di RS An-Nuur, Mekah. Tentu sangat mengejutkan, karena empat hari sebelumnya, penulis ditakdirkan bisa sowan ke beliau dalam kondisi fisik agak lemah.
Catatan yang sulit terlupakan, yaitu satu jam sebelum wafat, penulis mendapat wejangan langsung dari Mbah Moen, saat bertemu empat hari sebelum beliau wafat. Intinya, pengakuan Mbah Moen yang menyatakan sebagai orang NU 24 karat, kesertaan sebagai sesepuh di PPP bukan berarti PPP sebagai parpol terbaik. “Saya hanya sebagai penyeimbang dan harus mengutamakan kepentingan bangsa,” ujarnya.
Ulasan panjang juga menyinggung tentang keberadaan bangsa dan Negara sejak pra kemerdekaan, saat berjuang hingga saat ini. Kami diminta bisa memahami dan menelaah, makna dari peran penjajah, terjajah, dijajah dan adanya penjajahan. “Sampeyan harus ngerti hal itu”.
Itulah bagian dari narasi yang hingga saat ini masih tergiang. Apalagi, saat mendapat informasi dari rombonan Jemaah di Dar Al Eman, Shofwah, Mekah, saat mbah Moen –panggilan beliau—sholat Tahajjud tiba-tiba merasa lelah minta dibikinkan susu. Suratan takdir menentukan lain, menjelang Subuh beliau tidak sadarkan diri dan menghadap kepada Sang Khaliq.
Peristiwa luar biasa seakan menjadi saksi atas kepulangan ulama besar yang diakui dunia, bukan hanya Indonesia. Langit Mekah ditutupi mendung. Bahkan, kabar ketika beliau wafat, kawasan Mekah hujan cukup lebat, padahal malam hari terasa sangat panas, karena suhu mencapai 48 derajat Celsius. Peristiwa tersebut berlanjut hingga empat hari ke depan. Usai, wukuf pun Jemaah haji mendapat sajian langit yang mendung, bertemunya hawa panas dengan mendung hingga terjadi hujan disertai angin. Allahu Akbar. Inilah keagungan dan keistimewaan yang dipertontonkan Allah kepada hambaNya yang sudah berjibaku sebagai duta Allah.
Alunan dzikir, istighfar, sholawat dan rangkaian kalimat-kalimat thoyyiba yang terucap dari bibir mungil Jemaah tanpa terasa mengalir mengalir begitu bergema dan menyeruak ke bumi Allah bak miniatur Padang Mahsyar. Semakin dalam getaran jiwa, ketika langit mulai menjadi saksi atas kepasrahan dloifullah di tanah suci untuk meraih ridloNya. Langit pun mengubah bentuk menjadi butiran mutiara surga membasahi bumi Arofah. Angin gemuruh disertai halilintar tak mengubah bibir terus komat-kamit, memohon Rahmat, Hidayah dan Ridlo Allah. Subhanallah Alhamdulillah walaa ila hailallah wallahu Akbar Laahaula walaahuwwata ilabillahil aliyyil adliim.
Bagaimana keluh-kesah dan geliat sebagai TPHD, ikuti tulisan berikutnya. (mat)