Jakarta- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menuturkan pentingnya pendidikan Islam lewat kisah dua tokoh besar di ‘ngobrol Halaqah Pengembangan Pendidikan Islam (HAPPI) 2019’ di Hotel Mercure, kawasan Ancol, Jakarta, Senin (11/3/2019).
Menurut Menag, kisah KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan yang menjadi panutan dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, memiliki pesan mendalam. Yaitu, sesungguhnya pendidikan agama tidak hanya transfer pengetahuan saja. Tetapi yang jauh lebih penting, bagaimana pengetahuan itu terwujud dalam praktik dan amalan.
“Itulah esensi pendidikan. Tantangan kita di era yang sangat cepat berubah ini bagaimana mengajak semua pemangku kepentingan untuk mengamalkan pendidikan itu,” katanya.
Menag berkisah, tatkala Hasyim Asy’ari muda, masih menjadi santri Syaikhona Kholil Bangkalan, ada seorang tamu menemui sang guru. Tamu itu adalah seorang kakek renta yang cukup ‘ngotot’ ingin bertemu dengan Syaikhona Kholil.
Padahal, kala itu hujan sedang turun dengan derasnya di sekitar pondok pesantren Kyai Kholil. Syaikhona Kholil pun bertanya kepada santri-santrinya. “Santriku, siapa di antara kalian yang bersedia membantu menggendong tamuku, sehingga ia bisa bertemu denganku di sini?” tanya beliau.
Mendengar pertanyaan tersebut, Hasyim muda seketika langsung mengajukan dirinya. “Saya siap dan bersedia Pak Kyai,” ujarnya. Begitu juga saat pulang, Hasyim juga bersedia menggendong sang kakek.
Kemudian Menag melanjutkan kisah tentang KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Suatu ketika KH Ahmad Dahlan mengajarkan tafsir Surat Al-Ma’un. Tapi ternyata tidak cukup sekali. Beliau mengulang-ulang mengajarkan tafsir surat tersebut. Karena di luar kebiasaan, seorang santri memberanikan diri bertanya.
“Kyai, mengapa pelajarannya diulang-ulang terus? Kami semua sudah hafal dan paham semua ayat dan arti surat tersebut,” ujar sang murid.
Mendengar pertanyaan tersebut, Kyai Ahmad Dahlan pun balik bertanya, “Kalau sudah hafal, apakah kalian sudah mengamalkannya?” tanya beliau dikutip dari laman resmi Kemenag.
Lalu KH. Ahmad Dahlan meminta semua muridnya untuk pergi berkeliling mencari orang miskin, untuk kemudian dibawa ke rumah masing-masing. Si miskin tadi diberi makan dan minum, pakaian, serta dibiarkan bermalam di rumah. Seketika itu pula pelajaran tafsir dihentikan dan semua murid melaksanakan nasihat sang kyai.
“Nah, apa yang bisa kita renungkan dari dua kisah tokoh pendidikan Islam ini? Apa pelajaran yang dapat kita petik?” tanya Menag kepada peserta.
Kisah ini lanjut Menag, akan menemukan kembali kekuatan Pendidikan Islam. Kisah pertama berisi kemuliaan akhlak yang dimiliki oleh Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari, dan itu telah memberikan berkah bagi dirinya karena akhlak kepada tamu yang diperlihatkannya.
“Ini menyiratkan, Pendidikan Islam hadir bukan hanya sekadar untuk melakukan transfer of knowledge (transfer pengetahuan). Tapi juga mengedepankan akhlak. Ini harus menjadi satu hal yang harus ditanamkan oleh setiap kita yang bergerak di dunia pendidikan Islam,” kata Menag.
“Sementara, dari kisah KH Ahmad Dahlan, kita mendapatkan pelajaran bahwa amal adalah kata kunci. Ilmu yang tidak diamalkan, ibarat bulir-bulir padi yang tak kunjung dimasak menjadi nasi. Sampai kapanpun, ia tetap akan menjadi padi, tak bisa dimakan, tak bisa mengenyangkan orang,” sambung Menag.
Gelaran HAPPI jajaran Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, para Kakankemenag dan Kepala Biro PTKI se Indonesia. Mengusung tema “Moderasi Beragama Untuk Pendidikan Islam yang Maju dan Berbudaya”. Giharapkan, lewat gelaran tersebut, dapat melahirkan rumusan dan rekomendasi Program Direktif Pendidikan Islam Tahun 2019 dan Rekomendasi Halaqah Pengembangan Pendidikan Islam 2019. (wt)