ERA digital adalah keniscayaan, sebagai perkembangan dan perubahan jaman, sekaligus menguji kecerdasan manusia untuk menaklukkan dengan berbagai kreatifitas dalam berkarya. Demikian juga wartawan harus mendapat bekal lebih kuat dan berkualitas, guna melakukan transisi sekaligus menyajikan karya jurnalistik lebih hebat, sehat, dan bermartabat.
Mengapa? Wartawan adalah bagian dari tugas hamba sebagai makhluk “pengabdi”, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Aku tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah (baca; pengabdi suci) sebagai visi kehidupan, maka misi menghidupkan suasana kebatinan dalam menjalankan takdir guna menyebarkan informasi, baik dari kalangan penguasa pengendali pemerintah maupun dari rakyat paling tidak berdaya. Juga dari para dewa dunia dengan berbagai pernak pernik keilmuan duniawi maupun ukhrawi, mampu mewujudkan berita dengan karya jurnalistik sesempurna mungkin.
Berbagai perkembangan kemajuan keilmuan, juga tantangan dan tuntutan kemajuan teknologi informasi yang sudah menembus era digitalisasi tingkat tinggi. Dengan persaingan melahirkan karya jurnalistik model algoritma maupun pengembangan dari algoritma dalam berbagai bentuk tulisan robot. InsyaAllah kecerdasan murni wartawan dari Ilahi Robbi adalah kekuatan utama wartawan dengan kepiawiannya dalam menenun kepiawian serta kemampuan meramu berbagai informasi yang berserakan di bawah kolong langit, menjadi sebuah berita bermarwah adalah keniscayaan. Itulah harga mati dan marwah wartawan sejati, walaupun jaman bergeser mengubah peradaban dan makna kehidupan. Wartawan sejati masih mampu menyuarakan dan menginformasikan karya jurnalistik sesuai hati nurani.
Oleh karena itu, berita untuk konsumsi media pers, tentu saja harus memenuhi syarat mutlak menyajikan karya jurnalistik dengan kemampuan mampu menandingi bahkan menaklukkan berbagai karya karya tulis mesin modern alias robot-robot penulis.
Tentu saja dengan mengedepankan etika jurnalistik sekaligus memperjuangkan siapa saja yang teraniaya! Mengingatkan dan mengkritisi siapa saja yang buta mata dunia. Menyanjung siapa saja yang dengan ikhlas mengabdi di semua jalan kehidupan, tanpa membedakan terjal atau berkelok kelok, kadang lurus benar benar tulus. InsyaAllah mampu bersaing secara sehat menjaga martabat.
Sekedar menitipkan salam guna membawa kesejahteraan penuh berkah, maka mewujudkan (kembali) marwah wartawan sejati, tentu saja harus memahami sejarah perjuangan Wartawan Indonesia, yang tidak dapat dipisahkan dari perjuangan Rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan maupun mempertahankan dan mengisinya kemerdekaan di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kongres PWI XXV di Bandung 25-26 September 2023, mengingat kini terjadi puncak dari titik nadir terendah pada tatanan organisasi, sehingga untuk menyatukan kembali para Wartawan Indonesia dalam satu perjuangan secara totalitas, sangat dibutuhkan. Bukan membiarkan “perlawanan secara totalitas” sesama kuli tinta (satu dapur, satu sumur, satu kasur, satu susur, satu udzur).
Semua harus segera diakhiri dalam “tobat besar nasional” bahwa kekhilafan atau kesalahan adalah keniscayaan pada diri manusia, maka ketika sama-sama menyadari ada kewajiban suci untuk sama-sama memohon maaf dengan Istighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa pamrih. Karena memang semua ini semata mata karena untuk mengabdikan diri kepadaNya.
Oleh karena itu, tanpa basa basi mari menyatukan jiwa berniat untuk bersama sama membawa Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) kembali menegaskan untuk menjaga dan menenun jati diri wartawan tetap bermartabat sebagai wartawan sejati.
Memang tidak mudah? Karena mengembalikan marwah wartawan sejati dalam situasi dan kondisi, hampir semua media pers “tiarap” dalam mengembangkan berbagai bisnis, apalagi pada masa titik nadir paling rendah, maka mengingatkan kembali bahwa perjuangan wartawan ketika melahirkan PWI juga penuh tantangan dan perjuangan. Tetapi tetap menjaga semboyan pantang menyerah walaupun masih jauh dari kemakmuran dan kesejahteraan.
Salah satu bagian pembukaan Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga, tertulis kalimat sakral bahwa melalui
Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia bertujuan mewujudkan masyarakat yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, merdeka, berdaulat, adil dan makmur serta beradab.
Dalam perjuangan rakyat Indonesia mencapai cita-citanya, Wartawan Indonesia berpegang teguh pada konstitusi Negara.
Menyadari peranannya sebagai alat perjuangan bangsa, Wartawan Indonesia bertekad melanjutkan tradisi patriotik dalam semangat demokrasi.
Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa serta tanpa membedakan aliran politik,suku, ras, agama dan golongan, Wartawan Indonesia pada tanggal 9 Februari 1946 di kota Solo telah menyatukan diri dalam organisasi Wartawan Nasional bernama Persatuan Wartawan Indonesia.
Berdasarkan pembukaan ini dan dengan memohon ridho Tuhan Yang Maha Esa, disusunlah Peraturan Dasar, Peraturan Rumah Tangga, Kode EtikJurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia yang berlaku untuk seluruh Wartawan anggota PWI.
Menyadari ada kalimat sakral dalam pesan moral sangat formal, dengan sentuhan budi pekerti sangat tinggi, “Menyadari peranannya sebagai alat perjuangan bangsa, Wartawan Indonesia bertekad melanjutkan tradisi patriotik dalam semangat demokrasi”. Maka rasanya kalau masih ada “perlawanan secara total”, sudah harus diberantas bahkan diberangus, menjadi “perjuangan bersama secara total” dengan islah atau perdamaian total, menuju PWI dengan tetap menjaga pilar demokrasi, juga tetap mengawal tradisi patriotik dalam berkarya serta selalu berpihak demi kepentingan anak bangsa. Bukan kepentingan segelintir “pemangsa anak bangsa” dengan berbagai tipu muslihat meninabobokan seluruh rakyat karena program “kerakyatan berbau pembodohan”
Potret perjalanan kebangsaan dalam bingkai “kebhinekaan” dan Persatuan Indonesia dalam menjaga kehidupan gotong royong sejati, bukan gotong royong palsu-palsu. Maka dengan penuh kesadaran, PWI menata kembali pada Kongres XXV dengan semboyan mengembalikan marwah wartawan sejati.
Tentu saja mengembalikan martabat Wartawan Indonesia sejati, bukan pekerjaan mudah, bukan perjuangan sekedar membalikkan tangan. Tetapi membutuhkan sebuah proses panjang dengan memulai kembali melalui kesadaran yang tinggi, bersatu padu bersama sama dalam berbagai media pers, tetapi dengan cita rasa perjuangan mengembalikan dan menjaga marwah Wartawan Indonesia sejati.
Seperti diketahui,
PWI adalah organisasi wartawan pertama di Indonesia. PWI berdiri pada 9 Februari 1946 di Surakarta. Tanggal tersebut juga disebut sebagai Hari Pers Nasional. Dengan lahirnya PWI, wartawan Indonesia menjadi tangguh untuk tampil sebagai ujung tombak perjuangan Indonesia dalam menentang kembalinya kolonialisme dan negara lain yang ingin meruntuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Organisasi PWI lahir mendahului SPS (Serikat Penerbit Suratkabar). Aspirasi perjuangan kewartawanan Indonesia yang melahirkan PWI juga yang melahirkan SPS, empat bulan kemudian yakni pada Juni 1946. PWI menjadi wadah para wartawan untuk memperjuangkan anak bangsa dalam bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat yang sehat lewat tulisan. Sejauh ini, sebagaimana para jurnalis Indonesia di masa penggalangan kesadaran sebagai anak bangsa, para wartawan dari generasi 1945 yang masih aktif tetap menjalankan profesinya dengan semangat mengutamakan perjuangan bangsa, kendati ada kendala menghadang kiprahnya. PWI sendiri mempunyai keanggotaan yang berasal dari seluruh Indonesia.
Karena amanat “PWI menjadi wadah para wartawan untuk memperjuangkan anak bangsa dalam bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat yang sehat lewat tulisan”. Juga amanat “menentang kembalinya kolonialisme dan negara lain yang ingin meruntuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Maka mau tidak mau, suka tidak suka, jika ingin mengembalikan dan menjaga marwah wartawan sejati, setelah mengalami berbagai pasang surut kehidupan media pers, karena situasi dan kondisi “memaksa” bercerai berai, karena kepentingan sesaat, karena ajakan nafsu belaka, karena mengumbar gengsi demi menghabisi teman sendiri. Bukan karena mendahulukan membela “anak bangsa yang terjajah “. Maka untuk mengembalikan harga diri, Kongres XXV PWI pintu menuju kembalinya marwah Wartawan Indonesia sejati.
Menuju arah (kembali) ke jalan yang lurus, bukan jalannya wartawan yang sesat selama ini (menjelma menjadi wartawan walau tidak punya kemampuan menulis karya jurnalistik). Tetapi jalan perjuangan Wartawan Indonesia terdahulu yang patriotik menjaga sejengkal tanah Ibu Pertiwi dengan karya tulis jurnalistik berkualitas. Bahkan siapa pun yang dikoreksi atau dikritisi “senyum”, karena karya itu memberi makna untuk siap mengikuti perubahan menuju kebenaran.
Hal itu sejalan dengan visi PWI, menjadikan PWI organisasi profesional dan bermartabat di era transformasi lanskap media dengan spirit kebangsaan, kebebasan, dan kreativitas digital.
Dengan misi, menjadikan PWI organisasi profesional dan bermartabat di era transformasi lanskap media dengan spirit kebangsaan, kebebasan, dan kreativitas digital.
Sesunguhnya tidak mudah mewujudkan itu dalam waktu singkat, tetapi jika Kongres PWI XXV di Bandung, tidak berniat melakukan kesadaran untuk mengubah “kebablasan kemerdekaan pers” selama ini, yang sudah berbau kebablasan kebebasan pers, maka pada saat Kemerdekaan Indonesia masuk “Indonesia Emas”, Wartawan Indonesia akan tertinggal kereta perubahan dan selamanya menjadi bagian yang terpinggirkan.
Mari berniat mengubah nafsu-nafsu permusuhan dengan mengembalikan dan mengedepankan persahabatan,
mengubah keprihatinan media pers menjadi kebangkitan menuju kesadaran menjadikan media pers (kembali) sehat dan kuat. Sekaligus mengembalikan Wartawan Indonesia bermartabat sejati. Sebagaimana amanat Undang Undang Pers.
Tentu saja, upaya mewujudkan cita-cita luhur mengembalikan marwah atau martabat Wartawan Indonesia sejati. Wartawan dengan sungguh-sungguh mengedepankan budi pekerti luhur dengan memegang teguh prinsip profesional dan proporsional secara sungguh-sungguh pula, dengan tolok ukur mampu menjalankan amanat sebagaimana dituangkan dalam UU Pers dan tujuan organisasi PWI.
Dimana pertimbangan UU Pers dengan tegas dan jelas menyatakan;
bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin;
Bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
Bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun;
Bahwa pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.