KEDIRI (WartaTransparansi.com) – Ruang Sidang Cakra Tipikor Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis siang, 30 Oktober 2025, mendadak tegang. Sidang lanjutan perkara nomor 90/Pid.Sus-TPK/2025/PN Sby menghadirkan tiga terdakwa dalam dugaan kasus korupsi dana hibah KONI Kota Kediri yakni Kwin Atmoko Juwono, Dian Ariyani, dan Arif Wibowo.
Agenda pembacaan pledoi berubah menjadi panggung saling serang antar terdakwa, terutama ketika Arif Wibowo membuka lembaran baru dalam perkara yang diduga menyeret nama-nama besar di lingkungan pejabat Kota Kediri.
Dalam pembelaannya yang dibacakan bergantian dengan kuasa hukumnya, Eko Budiono, S.H., M.H., Arif menolak tudingan jaksa yang menuntutnya dengan ganti rugi senilai Rp1,5 miliar lebih. Ia menegaskan, dirinya hanya pelaksana teknis yang tidak memiliki kewenangan penuh.
“Saya hanya wakil bendahara yang tidak punya kewenangan lebih,” ujar Arif dalam sidang.
Ketegangan memuncak saat Arif menyinggung adanya dugaan aliran dana hibah KONI yang mengarah ke sejumlah pejabat eksekutif dan legislatif. Ia bahkan menyebut nama mantan Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar, Sekda Bagus Alit, serta Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora).
“Mengapa eksekutif dan legislatif yang diduga menerima dana KONI tidak pernah diperiksa? Takut, apa ini sudah menjadi tradisi,” katanya.
Arif juga meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) membuka rekaman CCTV di ruang Pemkot Kediri untuk membuktikan jika ada uang yang ia gunakan secara pribadi digunakan begitu besar, sebagai mana dakwaan dan tuntutan dalam persidangan.
Sementara itu, Eko Budiono menyoroti kelemahan dalam perhitungan kerugian negara yang dijadikan dasar dakwaan.
“Perhitungan kerugian negara tidak valid. Dakwaan tidak boleh hanya pakai ilmu kira-kira,” tegasnya.
Penasehat hukum terdakwa lain, Nur Baedah, S.H., membela Kwin Atmoko dengan menekankan bahwa kliennya telah menjalankan tugas sesuai tupoksi masing-masing pengurus KONI.

 
									




