GADUH SISTEM PROPORSIONAL TERTUTUP

GADUH SISTEM PROPORSIONAL TERTUTUP
Muchamad Taufiq

Oleh : Dr. Muchamad Taufiq, S.H., M.H.

Potongan pernyataan Ketua KPU yang dianggap heboh, “Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup,” ujar Hasyim dalam sambutan acara Catatan Akhir Tahun 2022 KPU RI, di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (29/12/2022) dilansir Detik News.

Pernyataan Ketua KPU sebenarnya normatif saja. Tidak perlu ditanggapi secara berlebihan, justru menangkap makna dari pernyataan itulah yang harus dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh para elit politik, khususnya para manajemen puncak partai disemua tingkatan.
Bukankah regulasi pemilu yang akan menentukan prosesnya? Sementara KPU adalah  penyelenggara pemilu.

Dengan demikian sah-sah saja Ketua KPU berpendapat meskipun oleh sebagian orang dianggap berpikiran mundur dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Sistem proporsional tertutup maupun terbuka sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.

Sistem adalah rule of the game, peran besarnya adalah pada goodwill para pimpinan partai. Hanya saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami perjalanan pada segmen pemilu dengan sistim proporsional terbuka yang diyakini mampu memperbaiki kondisi dari sistem proporsional tertutup, di sisi lain sistim proporsional terbuka dianggap representasi dari semangat reformasi.

Menurut pasal 11 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Jo Undangundang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, bahwa partai politik berfungsi sebagai sarana : 1) pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 2) penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; 3) penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.

Sementara menurut Miriam Budiardjo bahwa dalam negara demokratis partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi : 1) partai sebagai sarana komunikasi politik, 2) partai sebagai sarana sosialisasi politik, 3) partai politik sebagai sarana recruitment politik, dan 4) partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Dapat ditarik benang merah bahwa proses rekrutmen seseorang itu telah terjadi di dalam sebuah partai politik. Maka dapatlah disebutkan bahwa partai politik adalah filter munculnya kader/ pemimpin baik legislative maupun pemimpin nasional.

Jadi masalah utamanya bukanlah di sistem proporsional terbuka atau tertutupnya namun di pimpinan partai dalam menahkodai proses rekrutmen didalam partai.

Jika terdapat proses rekrutmen yang salah di dalam partai maka dapat dibuktikan bahwa  tidak jarang partai politik setelah berada ditataran kekuasaan justru menjadi kehilangan orientasi ideologisnya sebagai nilai dasar perjuangannya untuk melakukan perubahan yang bermakna bagi masyarakat.

Para pimpinan partai yang berada di tataran kekuasaan seringkali sulit memisahkan antara memperjuangkan kepentingan bangsa/ masyarakat dengan kepentingan pribadi atau kelompoknya, sehingga para manajemen puncak partai hanya sibuk dengan memperdebatan kekuasaan dari pada memikirkan harapan dan keinginan masyarakat. Kecenderungan yang seperti itulah justru akhirnya memberikan dampak negatif berupa menurunnya elektabilitas partai politik di mata publik.

Kebijakan manajemen puncak partai dalam proses rekrutmen akan sangat menentukan kualitas kader sekaligus partainya. Dijelaskan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berkaitan dengan Tata Cara Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang terdapat pada pasal 241-243.

Di sana disebutkan bahwa partai politik melakukan seleksi secara ‘demokratis dan terbuka’ terhadap bakal calon anggota legislative di semua tingkatan. Tentunya norma demokratis dan terbuka sangatlah dalam maknanya. Tinggal komitmen partai politik yang akan menentukan kualitas seleksinya untuk mendapatkan kader terbaik.

Bahkan telah diatur pula mengenai larangan partai politik menerirna imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam yang artinya secara mutatis matandis terhadap seleksi bakal calon artggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Jika ketentuan diatas dapat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab maka kita tidak akan lagi tenggelam dalam pilihan sistem proporsionalnya.

Apabila partai memiliki kader yang baik dan berkualitas, otomatis partai tersebut akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri. Hal tersebut menjadi sangat penting karena hanya dengan  kader yang baik, partai tidak akan kesulitan dalam menentukan pemimpinnya sendiri dan memiliki peluang untuk mengajukan calon ke bursa kepemimpinan nasional, hal ini jika proses perkaderan di dalam partai berhasil.

Para pimpinan partai politik saat ini harus memiliki kemampuan memandu partainya agar tidak kehilangan identitasnya sebagai lembaga yang memperjuangkan hak-hak politik masyarakat.  Jangan sampai “nilai ideologi hanya merupakan etalase (pajangan) yang tertuang dalam kertas yang dapat berubah setiap saat oleh desakan kepentingan kekuasaan” (Miriam Budiardjo).

Penerapan sistem proporsional tertutup atau terbuka hanyalah aturan main yang hidup dalam sebuah rezim.

Sejatinya adalah pembuktian itikad baik para pimpinan partai politik untuk menerapkan norma demokratis, terbuka, tanpa imbalan dari pusat sampai daerah. Memang terkesan idealis, namun idealis itulah sebenarnya ruh berpartai politik. Semoga di pemilu 2024 dapat terealisasi norma-norma baik dalam Undang-Undang Pemilu. Semuanya ada di Pundak kita masing-masing. (*)

*) Penulis adalah Akademisi Institut Teknologi dan Bisnis Widya Gama Lumajang dan                     Koordinator Pengajar Pancasila & Kewarganegaraan