Oleh : DjokobTetuko (Pemimpin Redaksi WartaTransparansi)
(Sehimpun Puisi “Bicaralah yang Baik-Baik” Dirut RRI-6”)
Setiap karya selalu mengandung pesan atau harapan, jadi bukan sekedar menata “huruf berserakan dalam berbagai makna”, tetapi karena “kata dan kalimat itu ada diksi ada bisikan juga ada teriakan begitu kuat”, tetapi di balik itu “dzikir dari sang penyair penyiar, ada komunikasi sangat kuat pula”.
Jadilah kesederhanaan, kejujuran, kepolosan, berteriak apa adanya, berbicara yang baik-baik saja, berbisik dengan kata dan kalimat agung, seperti bisikan adzan dan iqomah pada sang jabang bayi, atau bisikan rayuan menjual tiket menuju surga.
Acep Zamzam Noor seperti sedang mengaji kitab kuning, seperti duduk bersila di surau tua melantunkan perdebatan, seperti sedang meniupkan genderang senandung sholawat, seperti beristighotsah, menyapa publik
bahwa karya M. Rohanudin, sebagian besar mengandung nilai-nilai kesederhanaan dan kejujuran dalam antologi puisinya, sehingga mampu menggelitik jahil “merobek robek” sentuhan perasaan sebagai pembaca.
Acep Zamzam Noor, sekedar berbagi pengalaman bahwa
memasuki bulan Agustus, lebih-lebih mendekati tanggal keramat, sering membayangkan betapa panjang dan berlikunya proses mencapai kemerdekaan. Dalam bayangan lahirnya Indonesia sebagai bangsa tak bisa dilepaskan dari karya sastra, khususnya puisi. Pada tanggal 28 Oktober 1928 misalnya, sejumlah anak muda yang mempunyai naluri kepenyairan berkumpul dan secara kolektif berimajinasi tentang sebuah bangsa. Secara kolektif pula mereka menulis sebuah puisi yang indah, yang sekarang kita kenal sebagai “Sumpah Pemuda”. Sebuah puisi yang mengimajinasikan sesuatu yang waktu itu belum ada, bahkan mungkin belum terbayangkan di pikiran banyak orang: bangsa, tanah air dan bahasa.
Sutardji Calzoum Bachri pernah menyebut “Sumpah Pemuda” sebagai puisi besar yang dihasilkan anak-anak muda zaman dulu. Selain karena memenuhi kaidah untuk disebut puisi, di mana unsur-unsur puisi seperti bunyi, repetisi dan diksi terdapat di dalamnya, isinya pun sangat kreatif, impresif dan imajinatif.
Mengungkapkan sesuatu yang secara realitas belum ada. Sesuatu yang masih berupa utopia.
M. Rohanudin memang tidak sedang merintis kemerdekaan bangsa terjajah, walaupun sedang terkapar dan terpuruk karena virus Corona, juga tidak sedang persiapan memproklamirkan sebuah kemerdekaan negara, tetapi dalam mencatat peringatan kemerdekaan RI ke-75 tahun, menghimpun sebuah karya puisi dan sajak sebagai bagian dari pengabdian anak bangsa dalam beraneka ragam rupa, juga kandungan derajat dan timbangan berbeda pula.