banner 728x90

Kalangan Dewan Surabaya Soroti Sistem Layanan BPJS

Kalangan Dewan Surabaya Soroti Sistem Layanan BPJS

SURABAYA (Wartatransparansi.com) – Komisi D DPRD Surabaya gelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait tumpang tindihnya peraturan antara instansi fasilitas kesehatan (faskes) dan rumah sakit dalam pelaksanaan program BPJS Kesehatan. Rapat yang dipimpin oleh Ketua Komisi D DPRD Surabaya, dr. Akmawarita Kadir diselenggarakan diruang Komisi D DPRD Surabaya, Senin (24/02/2025).

Turut hadir dalam rapat tersebut Direktur RSUD Soewndhie, RSUD Bakti Dharma Husada, RSUD Eka Chandrarini, Direktur BPJS Kota Surabaya, ketua Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia, Ketua Perhimpunan Klinik dan Fasilitas Kesehatan Indonesia, Kepala Dinas Kesehatan Surabaya Serta Kepala BPJS Kesehatan Cabang Surabaya, Hernina Agustin Arifin.

Dalam rapat tersebut, anggota DPRD, dr. Michael Leksodimulyo, menyoroti aturan 144 penyakit yang menjadi dasar penolakan pasien di RS negeri. Ia mengungkapkan kasus seorang anak dengan demam 38 derajat yang mengalami kejang.

“Pasien anak ini ditolak dua RS negeri dan diarahkan ke puskesmas. Karena khawatir, orang tua pasien membawa anak mereka ke RS swasta dengan biaya hingga Rp38 juta, bahkan harus menggadaikan motor untuk biaya perawatan,” ungkapnya.

Menurut dr. Michael, aturan ini bertentangan dengan UU Kesehatan yang menyatakan bahwa semua penyakit harus ditangani, terutama bagi pasien yang sudah masuk UGD. Ia mengusulkan adanya pengawas di UGD atau sistem konsultasi video call bagi dokter jaga untuk memastikan apakah kasus bisa ditanggung BPJS atau tidak.

dr. Michael juga mempertanyakan perbedaan sistem klaim antara RS negeri dan RS swasta. Ia menyoroti bahwa beberapa klaim RS negeri yang tidak sesuai prosedur tetap dibayar BPJS, sementara RS swasta sering kali mengalami kesulitan dalam klaim serupa.

Ditempat yang sama, Drs. Imam Syafi’i, mengusulkan agar dana BPJS untuk warga Surabaya bisa dikelola sendiri. Perhitungannya, dengan jumlah peserta PBI JKN yang mencapai 1,1 juta jiwa, namun klaim yang dibayarkan hanya Rp 46 miliar.

“Kami usul agar dana tersebut dapat kami kelola sendiri, kami menilai perlu ada pengawasan ketat terhadap alokasi dana BPJS agar lebih bermanfaat bagi warga,” ujarnya.

Dewan juga menyoroti RS swasta besar yang enggan bekerja sama dengan BPJS. Imam menilai hal ini dirasa tidak adil, mengingat sistem JKN mengusung semangat gotong-royong. Ia meminta PERSI (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) Surabaya untuk menekan RS swasta agar lebih proaktif dalam melayani pasien BPJS, bukan hanya mengutamakan pasien berbayar.

Sementara itu, Sekretaris PKFI (PerhimpunanKlinik dan Fasilitas Kesehatan Indonesia) cabang Surabaya, dr. Sugiharto juga menyoroti permasalahan redistribusi peserta PBI BPJS. Ia mengusulkan agar pasien bisa memilih faskes swasta sebagai FKTP, bukan hanya diarahkan ke puskesmas. Menurutnya, di kota lain sistem ini sudah berjalan, sementara di Surabaya belum dilaksanakan.