SILPA Surabaya Lebih Rp234 Miliar, Eri Bilang Bukan Dana Mengendap

SILPA Surabaya Lebih Rp234 Miliar, Eri Bilang Bukan Dana Mengendap
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) Pemkot Surabaya per Oktober 2025 mencapai Rp234,44. Wali Kota Eri Cahyadi menegaskan bahwa itu bukan dana mengendap.

Selain PAD, dana dari pemerintah pusat seperti DAU dan Dana Bagi Hasil (DBH) juga mempengaruhi waktu pelaksanaan proyek.

“Itu juga ketika ditransfer, transfernya tidak di awal, turunnya juga di tengah-tengah,” ujarnya.

Sebagai contoh, Wali Kota Eri menerangkan dana dari Opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang biasanya cair per triwulan.

“Nah, ketika ini masuk (turun), baru kan bisa mengeluarkan. Tidak bisa langsung, masuk langsung saya keluarkan,” katanya.

Wali Kota Eri menegaskan, kondisi SILPA tersebut merupakan hal yang wajar terjadi di daerah dengan dominasi PAD tinggi seperti Kota Pahlawan.

“Maka dari itu, hampir semua kota besar, termasuk Surabaya, baru bisa memulai proyek di pertengahan tahun. Karena uang kita itu adalah uang PAD. Dan kita harus mempertahankan (uang) yang rutin, yang harus kita bayar setiap bulan,” tegasnya.

Ia menambahkan, SILPA di Kota Surabaya tetap dikelola sesuai mekanisme keuangan daerah dan tidak mengendap tanpa tujuan.

“Dari provinsi kita dapat (anggaran) dari Opsen. Nah, ketika (Opsen) turun di bulan saat ini, kan tidak bisa (langsung) dipakai,” ujarnya.

Meski begitu, ia memastikan Pemkot Surabaya tidak akan membiarkan dana bagi hasil mengendap hingga tahun berikutnya.

“Yang salah itu adalah ketika uang itu mlebu (turun) dibiarkan mulai Januari. Nah, itu yang tidak boleh,” katanya.

Wali Kota Eri menegaskan pengelolaan dana SILPA di Surabaya dilakukan sesuai aturan dan prinsip kehati-hatian. Ia juga sepakat dengan pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa, yang melarang pemerintah daerah menyimpan kas di Bank Pembangunan Daerah (BPD) wilayah lain.

“Seperti Pak Menteri bilang, (misal) kalau uang (Surabaya) ditaruh di Bank Jakarta, itu yang salah. Tapi bagaimana (daerah) itu bisa mempertanggungjawabkan setiap bulan, kebutuhannya berapa, memang harus kita SILPA-kan,” tandasnya. (*)

Editor: Wetly