Selain itu, DEFA juga diharapkan menjadi landasan kuat bagi perkembangan ekonomi digital di ASEAN dengan potensi nilai ekonomi digital mencapai USD2 triliun di tahun 2030.
Di samping itu, Menko Airlangga menjelaskan bahwa selain pertumbuhan yang pesat, pengembangan ekonomi digital juga memiliki sejumlah tantangan seperti pasar digital ASEAN yang masih terfragmentasi, perbedaan peraturan dari satu negara ke negara lain, kebijakan data yang belum selaras, dan banyak UKM yang belum dapat berekspansi ke luar batas negara asal. Dengan demikian, ASEAN DEFA menjadi kerangka penting dalam menjaga momentum pertumbuhan dan menentukan masa depan ekonomi ASEAN.
Hingga Putaran ke-13 di Hanoi, Vietnam, telah disepakati 19 dari 36 artikel (52,78%) dengan kemajuan dalam berbagai isu teknis. Putaran ke-14 di Jakarta saat ini menargetkan kesepakatan perundingan mencapai 70% untuk core dan value-added paragraphs, sehingga hasilnya dapat diadopsi dalam ASEAN Economic Ministers (AEM) ke-57 dan AEC Council ke-26 yang dijadwalkan pada Oktober 2025.
Beberapa isu utama yang dibahas meliputi Non-Discriminatory Treatment of Digital Products (NDTDP), Cross-Border Transfer of Information (CBTI), Source Code, Location of Computing Facilities (LOCF), serta kerja sama sistem kabel bawah laut telekomunikasi.
Perundingan DEFA akan dilanjutkan dengan mekanisme joint monitoring, peningkatan peran sektor swasta, technical assistance, serta pembentukan dispute mechanism guna memastikan implementasi yang efektif. Penyelesaian keseluruhan draft perjanjian ditargetkan pada awal 2026, dengan penandatanganan final diharapkan berlangsung pada kuartal ketiga 2026.
“Kita harus menggandakan upaya untuk memastikan ASEAN DEFA menjadi kerangka kerja digital pertama di dunia yang bersifat regional, modern, komprehensif, dan visioner untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial di seluruh ASEAN,” pungkas Menko Airlangga. (din/ais)