Di sebuah desa di ujung selatan Jawa Timur, tepatnya Desa Gedompol, Kecamatan Donorojo, tersimpan sebuah warisan budaya yang tak ternilai: Wayang Beber Pacitan. Kesenian ini bukan sekadar pertunjukan rakyat, melainkan refleksi spiritual, sosial, sekaligus identitas masyarakat Pacitan.
Pertunjukan Wayang Beber tampil berbeda dibanding bentuk wayang lain. Alih-alih boneka kulit atau kayu, kesenian ini menggunakan gulungan kain atau kertas panjang berisi gambar-gambar kisah Panji. Dalang kemudian membentangkan gulungan itu, menceritakan adegan demi adegan dengan sulukan, kombangan, dan narasi khas Jawa kuno, diiringi gamelan. Ada suasana sakral yang mengiringi, seolah membuka tirai masa lalu yang masih hidup hingga kini.
“Suasana magis dalam pertunjukan Wayang Beber sangat berkaitan dengan ritual dari para keturunan dalang. Dulu, pertunjukan Wayang Beber lebih banyak digelar dalam acara selamatan atau nazar warga. Jadi, bukan hanya tontonan, tapi juga sarana pemenuhan spiritual,” tutur Endro Wahyudi (Sunan Sumur), pegiat seni dan budaya Pacitan.
Warisan yang Hampir Terlupakan
Sejarah mencatat, Wayang Beber Pacitan terdiri dari enam gulungan dengan total 24 adegan kisah Panji. Kisahnya menekankan nilai-nilai luhur seperti kesetiaan, tanggung jawab, dan keberanian. Namun, meski sarat makna, keberadaannya sempat terpinggirkan.
Di era digital yang serba cepat, generasi muda lebih tertarik pada layar ponsel ketimbang gulungan kain penuh lukisan. Pagelaran Wayang Beber yang menggunakan bahasa Jawa kuno dan alur dramatik yang cenderung lambat membuat seni ini kian jarang dipentaskan. Bahkan, sebagian masyarakat Pacitan sendiri mulai merasa asing dengan warisan budayanya.
“Memasuki era globalisasi, eksistensi Wayang Beber Pacitan memang mengalami degradasi popularitas. Padahal, kekuatan nilai yang terkandung di dalamnya bisa menjadi modal besar. Generasi sekarang harus berani mengeksplorasi agar Wayang Beber bisa kembali diterima. Tidak harus sama persis dengan pakemnya, tapi tetap menjaga ruhnya,” jelas Khoirul Amin, Ketua Dewan Kesenian Pacitan.
Napas Baru dari Generasi Z
Kesadaran akan pentingnya pelestarian itu mendorong lahirnya berbagai inisiatif. Salah satunya adalah gagasan membentuk Kampung Budaya Wayang Beber di Desa Gedompol. Komunitas ini digerakkan oleh anak-anak muda desa, yang mencoba memberi wajah baru pada tradisi tua.
Mereka tak lagi membatasi Wayang Beber hanya dalam gulungan kain. Kisah-kisahnya diangkat ke berbagai media: dari komik digital, animasi, hingga pementasan drama dan tari. Bahkan, ada workshop kepenulisan untuk menulis cerpen dan naskah drama berbasis cerita Panji.
Di sisi ekonomi kreatif, inspirasi Wayang Beber juga dituangkan dalam bentuk batik, tas, kaos, dan aksesoris lain. Produk-produk itu dipasarkan melalui toko daring, memperkenalkan Wayang Beber kepada audiens yang lebih luas.
“Bahasa Jawa kuno memang sulit dipahami generasi muda. Karena itu, perlu ada pengembangan berbasis pakem, tapi disajikan lebih segar. Transformasi ini bukan sekadar melestarikan, tetapi menghidupkan kembali ikon budaya Pacitan,” tegas Turmudi, M.Pd, Kepala Disbudparpora Kabupaten Pacitan.
Menghidupkan yang Sakral ke Ruang Publik
Dulu, Wayang Beber erat kaitannya dengan ritual dan selamatan. Kini, ia dihidupkan dalam ruang publik yang lebih luas. Pementasan bisa digelar di sekolah, festival budaya, hingga ruang kreatif anak muda. Dengan begitu, Wayang Beber bukan hanya menjadi tontonan nostalgia, tapi juga inspirasi.
Di sebuah workshop, sekelompok remaja terlihat serius membuat storyboard animasi dari kisah Panji Asmoro Bangun dan Dewi Sekartaji. Di tempat lain, sekelompok siswa SMA melatih sendratari berbasis Wayang Beber. Mereka percaya, tradisi bisa tetap hidup jika hadir dalam bentuk yang mereka kenal.
“Wayang Beber itu bukan barang mati. Ia bisa menjadi sumber inspirasi tanpa harus kehilangan ruhnya. Justru ketika kita mampu memadukan nilai lama dengan cara baru, di situlah tradisi menemukan kehidupannya kembali,” ungkap Endro Wahyudi menambahkan.
Tantangan dan Harapan
Meski upaya revitalisasi sudah dimulai, tantangan masih besar. Butuh konsistensi, dukungan pemerintah, serta kesediaan generasi muda untuk terus mengembangkan. Tidak cukup sekali dua kali pertunjukan; harus ada program berkelanjutan yang menjadikan Wayang Beber bagian dari identitas kultural Pacitan.
Khoirul Amin menegaskan, penting bagi komunitas seni untuk memanfaatkan teknologi. “Bayangkan kalau Wayang Beber bisa tampil di platform digital global. Anak-anak muda akan melihat bahwa tradisi kita bisa sejajar dengan animasi modern. Itu akan membangkitkan kebanggaan baru,” katanya.
Di sisi lain, Turmudi melihat potensi Wayang Beber bukan hanya pada seni pertunjukan, tapi juga pariwisata budaya. “Pacitan bisa menjadikan Wayang Beber sebagai ikon wisata. Desa budaya, festival tahunan, hingga produk kreatif bisa menjadi daya tarik. Ini sekaligus memperkuat identitas lokal kita,” ujarnya.
Menjaga Ruh, Merangkul Zaman
Wayang Beber Pacitan adalah contoh nyata bagaimana sebuah tradisi bisa bertahan jika ada kemauan untuk bertransformasi. Ia bukan sekadar artefak yang tersimpan di museum, melainkan warisan yang terus bernapas melalui tangan-tangan muda yang kreatif.
Kini, ketika layar digital mendominasi kehidupan sehari-hari, Wayang Beber justru menemukan jalannya untuk ikut hadir di sana. Dari gulungan kain berusia ratusan tahun hingga komik digital di ponsel anak muda, perjalanan Wayang Beber adalah bukti bahwa tradisi tidak harus ditinggalkan, tapi bisa dirangkul dalam bentuk baru.
Bagi masyarakat Pacitan, Wayang Beber bukan hanya milik masa lalu, melainkan juga masa depan. Ia adalah wajah budaya yang lahir dari desa kecil, namun siap menyapa dunia dengan spirit kearifan lokal yang universal: kesetiaan, tanggung jawab, dan keberanian.
Sejarah Singkat Wayang Beber
Di balik lembaran gulungan kertas yang usianya ratusan tahun, Wayang Beber menyimpan jejak panjang sejarah dan simbolisme pewayangan kontemporer. Kesenian yang unik karena berbentuk lukisan naratif dalam gulungan ini pertama kali diketahui jejaknya sejak masa Kerajaan Jenggala, ketika tradisi penceritaan lewat gambar menjadi salah satu bentuk hiburan sekaligus media pendidikan moral.
Perjalanan Wayang Beber terus menyeberangi zaman hingga mencapai puncak pengembangan kembali pada periode Kerajaan Kartasura. Pada tahun 1690 M, di bawah pemerintahan Amangkurat II, tradisi ini direvitalisasi melalui kisah Joko Kembang Kuning. Karya tersebut diwujudkan dalam enam gulungan kertas yang rampung dibuat pada 1692 M. Gulungan ini bukan sekadar tontonan, melainkan juga tuntunan, yang memperlihatkan nilai-nilai kepahlawanan, cinta, dan keteguhan hati.
Kebesaran Wayang Beber berlanjut pada masa Pakubuwana II. Sekitar tahun 1735 M, lahir kembali karya serupa dengan siklus cerita Jaka Kembang Kuning dan Remeng Mangunjaya. Namun, sejarah mencatat masa pemerintahan ini juga diwarnai gejolak besar. Pemberontakan Tionghoa yang mengguncang Kartasura mengakibatkan keraton dikuasai musuh. Dalam proses evakuasi, pusaka kerajaan turut dibawa, termasuk gulungan Wayang Beber.
Sayangnya, tidak semua peninggalan itu selamat. Sebagian gulungan hilang di wilayah Gunungkidul, Wonosari, sementara sisanya bertahan di Desa Karangtalun, Pacitan. Di sana, warisan budaya ini tetap dirawat secara turun-temurun, dipentaskan dalam upacara adat, dan dijaga sebagai simbol keterhubungan antara masa lalu dan masa kini.
Hari ini, Wayang Beber bukan hanya artefak sejarah, tetapi juga simbol perlawanan waktu. Ia menghadirkan narasi tentang ketekunan masyarakat dalam melestarikan budaya, meski harus melewati perang, perpindahan istana, hingga ancaman kepunahan. Dari Jenggala hingga Kartasura, gulungan Wayang Beber menjadi saksi bisu perjalanan panjang kebudayaan Jawa, sekaligus inspirasi bagi pewayangan kontemporer yang terus mencari relevansi di zaman modern. (amin istighfarin)