“Bagi saya, Masjid Istiqlal bukan hanya untuk komunitas Muslim, tapi pusat kemanusiaan. Kurikulum ini lebih dari sekadar bangunan fisik, tapi metafora hidup tentang apa yang Indonesia inginkan: kepercayaan tidak saling berlawanan, melainkan bekerja sama; komunitas tidak terpisah, melainkan saling terhubung,” ujarnya.
Menag juga menyoroti tantangan kebebasan beragama yang masih dihadapi masyarakat Asia. Menurutnya, intoleransi, diskriminasi, dan ketidakadilan masih menyisakan persoalan serius, terutama bagi kelompok minoritas.
Ia menekankan bahwa pendidikan berbasis kasih sayang adalah alat terkuat untuk perubahan. Melalui Kurikulum Berbasis Cinta, generasi muda dididik untuk melihat kemanusiaan dalam diri orang lain, menolak potensi kekerasan, dan tumbuh menjadi warga yang melindungi hak semua orang, termasuk kelompok rentan.
“Melindungi kebebasan beragama bukan hanya kewajiban konstitusional, tetapi juga tugas spiritual. Setiap tindakan toleransi, setiap penghormatan atas hak asasi manusia, adalah refleksi kasih sayang kita kepada Tuhan,” tutur Menag.
Ia berharap pengalaman Indonesia dalam menjaga keragaman dapat menjadi kontribusi penting bagi dunia, sekaligus inspirasi bagi negara-negara lain di Asia.
Menutup pidatonya, Menag mengajak seluruh peserta konferensi menjadikan forum ini sebagai titik kerja sama lintas negara dan lintas agama. “Biarkan semangat kasih sayang membimbing kita semua. Biarkan semangat itu membentuk kita dalam melindungi keadilan dan kemanusiaan. Mari jadikan perjumpaan ini sebagai penunjuk harapan untuk dunia,” pungkasnya.
Hadir dalam kegiatan ini Sekretaris Jenderal CCA Mathews George Chunakara, Ketua Umum PGI Pdt. Jacklevyn Fritz Manuputty, para kontingen dari sejumlah negara Asia, serta Dirjen Bimbingan Masyarakat Kristen Jeane Marie Tulung. (ais)