Menurut Ayub, kehadiran PT KAI dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) mutlak diperlukan untuk memberikan kejelasan.
“Seharusnya KAI dan BPN hadir, karena mereka pihak yang paling memahami riwayat kepemilikan tanah dan status hukumnya,” ujarnya Jumat 15 Agustus 2025.
Ayub menegaskan, ketidakhadiran itu menghambat pencarian solusi. Meski demikian, rombongan Komisi A tetap meninjau kawasan sengketa mulai dari monumen lokomotif hingga perkampungan warga di RT 02/RW 03. Mereka juga berdialog dengan warga terdampak. Ayub memastikan pihaknya akan kembali mengundang KAI dan BPN.
“Kami tidak ingin masalah ini berlarut-larut tanpa ada kepastian hukum bagi warga,” kata Ayub.
Dalam sidak, DPRD juga meminta Pemerintah Kota Kediri menyiapkan pendampingan hukum. Rekomendasi itu sebelumnya telah disampaikan dalam rapat dengar pendapat (RDP) pada 26 Juni lalu.
“Warga berhak mendapat bantuan hukum jika ingin menempuh jalur litigasi,” ucap Ayub.
Sejumlah warga menyampaikan penolakan terhadap kontrak pengosongan rumah yang diajukan PT KAI. Titik Sundari, salah satu warga, menyebut keluarganya sudah menempati rumah warisan itu sejak 1937. Ia bahkan memegang letter C tercatat di kelurahan.
“Nomor SHP 7 itu sah. Kalau tidak sah, kami siap buktikan. Warga juga mau bayar, asal kepemilikannya jelas,” katanya.
Titik mengaku pernah ditawari kompensasi Rp1,7 juta melalui kontrak pengosongan pada 4 Agustus lalu. Namun ia menolak. Dari 23 warga yang diminta tanda tangan, enam membatalkan setelah membaca isi kontrak.
“Kalau sertifikat PT KAI sah, silakan tunjukkan. Kalau tidak, kami akan pertahankan hak kami,” tegasnya.
Warga lain, Sulastri, 57, mengaku sudah empat generasi tinggal di kawasan itu. Ia sempat menandatangani kontrak dengan PT KAI karena terburu-buru, namun belakangan berusaha membatalkan.
“Saya nggak baca karena saat itu cepat-cepat. Terus waktu saya baca, klausulnya memberatkan,” ungkapnya.
Komisi A menilai mediasi belum berjalan karena PT KAI tidak menunjukkan niat baik dalam mengurai persolan dengan warga Kota Kediri.
“Tiga kali kami undang, komisinya tidak pernah hadir. Padahal warga sudah menunjukkan itikad baik. Kalau memang ini untuk kepentingan umum, mereka siap melepas lahannya. Tapi kalau diusir begitu saja, ini namanya kezaliman,” kata Ayub.
Ia juga menyoroti keberadaan monumen lokomotif dan lahan parkir yang disebut aset Pemkot Kediri, serta proyek drainase di kawasan stasiun. Menurutnya, penataan kawasan harus sesuai master plan kota.
“Apalagi nanti stasiun akan menjadi ikon Kota Kediri,” kata Ayub.
Sementara itu, Manajer Humas PT KAI Daop 7 Madiun, Rokhmad Makin Zainul, menegaskan perusahaannya tetap menghormati setiap proses penyelesaian. Ia membantah anggapan KAI mengabaikan undangan DPRD.
“Ketidakhadiran pada beberapa undangan tersebut bukan disebabkan oleh ketidakpedulian, melainkan karena pada waktu yang bersamaan terdapat agenda kedinasan yang telah terjadwal,” ujarnya.
Pemerintah Kota Kediri melalui Staf Ahli Mandung Sulaksono menyatakan siap memfasilitasi bantuan hukum bagi warga sesuai rekomendasi DPRD.
“Kami akan mendampingi para warga Kemasan bila diperlukan pendampingan hukum,” katanya.
Sengketa lahan di Kelurahan Kemasan telah berlangsung lama. Setidaknya 19 bidang tanah dihuni warga secara turun-temurun kini diklaim sebagai aset PT KAI. Tarik ulur kepemilikan ini terus memanas setelah sejumlah warga menolak menandatangani kontrak pengosongan rumah.(*)