Guru Besar UNDIP, Prof. Pujiyono, turut menegaskan bahwa paradigma pemidanaan dalam KUHP Nasional kini beralih dari pendekatan retributif ke model yang lebih restoratif dan humanis. Ia memperkenalkan berbagai ide pemidanaan baru, termasuk fleksibilitas sanksi, double track system, dan pengakuan terhadap korporasi sebagai subjek hukum pidana. Ia menegaskan bahwa pemidanaan kini diarahkan untuk memulihkan, bukan sekadar menghukum.
Prof. Dr. Nur Basuki Minarno, dari UNAIR, memfokuskan pemaparannya pada urgensi reformasi sistem pembuktian demi mewujudkan keadilan substantif. Ia menyoroti pentingnya mempertegas peran hakim serta membuka ruang bagi pembuktian yang adil dari semua pihak. Ia juga menekankan perlunya standar pembuktian yang lebih jelas, serta memperkuat prinsip keseimbangan antara hak terdakwa dan kewenangan penegak hukum.
Ketua Umum ASPERHUPIKI, Dr. Fachrizal Affandi, menyoroti ketimpangan antara semangat progresif dalam KUHP baru dengan pendekatan formalistik dalam RKUHAP 2025. Ia menilai bahwa pembatasan terhadap hak tersangka serta lemahnya kontrol yudisial dalam RKUHAP berpotensi melemahkan nilai-nilai perlindungan HAM. Oleh karena itu, integrasi antara KUHP dan RKUHAP dinilai mutlak untuk memastikan transformasi sistem peradilan yang modern dan adil.
Peneliti politik Yoes C. Kenawas, Ph.D., memaparkan hasil survei LSI terhadap 101 ahli dan praktisi hukum yang mayoritas mendukung revisi KUHAP, khususnya dalam memperkuat akuntabilitas dan perlindungan HAM. Survei ini juga menunjukkan pentingnya transparansi proses legislasi, batas waktu penyidikan, pendampingan hukum wajib, dan perlunya digitalisasi informasi perkara untuk menjamin akses publik.
Melalui konferensi ini, Universitas Airlangga kembali menegaskan komitmennya dalam mendorong reformasi hukum nasional yang tidak hanya berpijak pada aspek normatif, namun juga berorientasi pada keadilan substantif, perlindungan hak asasi, dan respons terhadap dinamika masyarakat modern. (min)