Di tempat yang sama, aktor senior dan seniman Indonesia yang sekaligus Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno, menggarisbawahi kekuatan spiritual Bung Karno dalam meyakini keberadaan Makam Imam Al-Bukhari meski secara fisik belum pernah ke Uzbekistan sebelumnya.
“Saya melihatnya, selama dia diasingkan di Ende, dia pasti dimimpikan tempat itu. Ketika menyusun Pancasila, dia banyak mendapat peringatan atau ilmu dari hadits ini (Imam Al-Bukhari), dia menemukan kata-kata ketuhanan yang maha esa, keadilan,” ujar Rano.
Oleh karena itu, Rano menyebut bahwa, teater ini bertujuan memperkenalkan sejarah Bung Karno kepada generasi muda. Sebab, ia menilai selama ini anak-anak muda hanya mengenal Pancasila sebagai teks, bukan sebagai hasil dari perenungan mendalam.
“Bung Karno ini bukan membuat Pancasila. Pancasila sudah ada di Indonesia, tapi memang beliau yang merangkai, penggalinya itu beliau. Bahkan saat diasingkan di Ende, beliau membuat tim sandiwara untuk mengisi waktu. Dari situ banyak ide persahabatan muncul,” tuturnya.
Sementara itu, Produser independen sekaligus pendiri Yayasan Taut Seni, Restu Imansari Kusumaningrum, mengungkapkan bahwa pentas ini telah melalui proses riset dan pengembangan selama lebih dari empat tahun. Pementasan berdurasi sekitar satu jam ini melibatkan sekitar 20 seniman dan teknisi, serta berdiskusi dalam empat sesi pertunjukan.
“Harapannya, generasi anak-anak muda mau lagi meneliti dan melihat sejarah bangsanya. Sejarah itu milik semua peradaban manusia, dia punya rekam jejak jejaknya,” ujarnya.
Pentas Imam Al-Bukhari dan Sukarno digagas dan diproduksi oleh Bumi Purnati Indonesia bekerja sama dengan The Drama Theatre of Kattakurgan, Uzbekistan. Pertunjukan ini tidak hanya menampilkan unsur teater modern, tetapi juga memadukan musik klasik, lagu-lagu nasional, musik tradisional Indonesia dan Uzbekistan, serta untaian zikir.
Format pementasan ini mengusung konsep teater arsip, yang berupaya menghidupkan kembali momen diplomasi penting dalam sejarah hubungan bilateral kedua negara.
Kunjungan Soekarno ke Uzbekistan pada tahun 1956, yang dilakukan atas undangan Presiden Uni Soviet Nikita Khrushchev, menjadi simbol kuat diplomasi non-blok Indonesia di tengah panasnya situasi Perang Dingin. Permintaan Soekarno untuk mengunjungi makam Imam Al-Bukhari menjadi syarat sebelum ia menerima undangan tersebut.
Kunjungan tersebut kemudian dibalas Khrushchev dengan lawatannya ke Indonesia pada tahun 1960. Kini, kerja sama Indonesia-Uzbekistan berlanjut melalui medium seni pertunjukan yang menjadi bahasa diplomasi universal. (*)