Sabtu, 18 Mei 2024
32 C
Surabaya
More
    OpiniPojok TransparansiMenunggu Janji Prabowo-Gibran

    Menunggu Janji Prabowo-Gibran

    Oleh H.S. Makin Rahmat – Ketua SMSI Jatim

    Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengesahkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Tentu rakyat Indonesia berharap cita-cita mulia menuju Indonesia Emas 2045, bukan sekedar janji belaka, apalagi sampai menciderai demokrasi. Prabowo – Gibran akan resmi dilantik sebagai Presiden pasa Oktober nanti

    Dalam berbagai momen, obralan kelas warteg, diskusi panel, forum group discussion (FGD), hingga jamaah di teras tempat ibadah mengimpikan (mengidolakan) sosok pemimpin yang bukan menebar janji, namun mewujudkan bukti.

    Singkatnya, bagaimana rakyat mengamini sosok pemimpin yang mampu mewujudkan gemah Ripah loh jinawi, tentrem kerto raharjo. Baldathun thoyyibatun wa robbur ghofuur.

    Mengutip literasi dalil tentu pada takaran empiris, gampang diucap susah dipraktekkan. Apalagi, kalau fasilitas seorang penggede bergelimang harta, serba wah bak hidup di surga. Akhirnya, lupa bahwa saat ini hidup di dunia sebagai roda kehidupan sementara.

    Ijinkan ditulisan yang sederhana ini mengupas kembali figur tauladan, yang patut menjadi perenungan bersama. Siapa yang tidak kenal Umar bin Abdul Aziz. Para ahli sejarah Islam menggelari Umar bin Abdul Aziz sebagai “Khulafaur rasyidin kelima.” Julukan tersebut menandakan ketinggian akhlaknya yg seperti keempat pemimpin sekaligus sahabat Nabi SAW itu: Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

    Karakteristiknya memang bertolak belakang dg mayoritas raja Dinasti Umayyah. Bila kaum elite sebelum dan setelahnya menyukai kemewahan, dirinya cenderung hidup bersahaja. Walaupun menjabat sebagai orang nomor satu di seantero negeri, sang amirul mukminin selalu memenuhi kebutuhan harian selayaknya rakyat biasa.

    Ia sesungguhnya berhak menempati istana kesultanan yang megah. Namun, bangunan besar itu diserahkannya kepada keluarga pendahulunya, Sulaiman bin Abdul Malik. Ia sendiri memilih rumah kecil nan reot sebagai hunian. Perangainya persis seperti Khalifah Umar pada zaman Khulafaur rasyidin. Karena itu, banyak kalangan menyebutnya Umar II.

    Bagaimana sosok Umar bin Abdul Aziz menjadi pemimpin mumpuni? Tidak lepas dari bibit-bobot-bebet. Artinya, kisah pada zaman Umar bin Khattab disampaikan sahabat Abdullah bin Zubair. Pada suatu malam, Khalifah Umar dengan ditemani Abdullah sedang melakukan patroli keliling Madinah.

    Karena merasa lelah, sang amirul mukminin pun bersandar pada dinding sebuah rumah. Keadaan saat itu cukup gelap gulita. Tanpa sengaja, keduanya mendengar percakapan dua orang di dalam rumah bersisian dinding rumbai. Dari suara yang Umar dan Abdullah bin Zubair dengar, para penghuni rumah itu adalah ibu dan anak perempuannya.

    “Campurkan air pada susu yang akan kita jual supaya bertambah banyak & kita bisa dapat untung lebih besar,” ujar sang ibu kepada anak gadisnya.

    Namun, anak gadis itu menolak perintah sang ibu. Ia lalu berkata, “Wahai, ibu, Amirul mukminin (Umar bin Khattab) telah mengumumkan larangan mencampur susu dengan air.”

    Sang ibu lalu mengomel, agaknya merasa jengkel terhadap anak gadisnya itu. “Tapi, Amirul Mukminin tak akan tahu apa yang kita lakukan. Apalagi, dia tak ada di sini,” cetus sang ibu.

    Khalifah Umar terus menyimak perbincangan antara ibu dan anak gadisnya itu. Hingga akhirnya, Amirul Mukminin pun tersenyum saat sang gadis itu menjawab perintah ibunya. “Wahai, ibu, Demi Allah, bukankah perbuatan itu tak boleh kita lakukan karena akan merugikan orang lain?” ucapnya dengan lemah lembut.

    Lalu, sang gadis jujur itu pun kembali berkata, “Aku hanya takut pada Allah SWT, ibu. Meski khalifah tak mengetahui perbuatan kita, Allah SWT akan selalu melihat apa yang kita lakukan.”

    Sang ibu pun akhirnya tak jadi mencampurkan susu yang akan dijualnya dengan air. Sang gadis berhasil menghalangi niat buruk dari ibunya. Islam memang mengajarkan agar seorang anak patuh kepada orang tuanya. Namun, jika perintah orang tua itu salah dan melanggar hukum Allah SWT, seorang anak bisa menolaknya. Tentu dengan cara yang baik.

    Umar yang menyimak perbincangan ibu dan anak itu. Sebelum pulang, ia meminta Abdullah untuk menandai rumah tersebut. Begitu kembali kepada keluarganya, Umar memanggil putra-putranya.

    “Adakah di antara kalian yang ingin menikah?”

    “Saya belum beristri, wahai Ayah. Nikahkanlah aku,” jawab Ashim bin Umar.

    Esoknya, Umar berkata kepada Ashim. “Pergilah kamu ke suatu tempat di daerah ini. Engkau akan bertemu dengan gadis. Temui ibunya. Persuntinglah gadis itu agar menjadi istrimu. Semoga Allah memberimu keturunan yg baik darinya.”

    Akhirnya, Ashim bin Umar menikah dengan gadis penjual susu itu. Pasangan ini dikaruniai anak-anak yang berbudi pekerti luhur. Salah satunya adalah Laila, yang lantas dipersunting oleh seorang gubernur yang saleh, Abdul Aziz bin Marwan. Dari pernikahan ini, lahirlah sang mujadid abad pertama Hijriyah: Umar bin Abdul Aziz.

    Sejak hari pertama menjabat, Umar II sangat menyadari kekuasaan sebagai amanah Allah. Hatinya selalu takut akan pengadilan Hari Akhir dan perjumpaan dengan Tuhannya kelak. Begitu menjadi amirul mukminin, ia menyuruh bawahannya untuk melelang seluruh harta pribadinya.

    Alhasil, pemasukannya sbg khalifah merosot drastis hingga 200 dinar setahun. Padahal sebelum pemimpin negara, cicit Umar bin Khattab al-Faruq ini biasa menghasilkan minimal 50 ribu dinar per tahun dari hasil usaha perniagaan.

    Tak mengherankan ketika wafat usia 37 tahun, dirinya hanya meninggalkan harta sebanyak 17 dinar. Itu pun masih harus dikurangi untuk membayar uang sewa hunian tempatnya tinggal. Sisanya diperuntukkan bagi biaya pemakamannya.

    Seorang raja Romawi Timur (Bizantium) begitu mendengar kabar kematiannya berkomentar penuh simpati. Dalam suratnya, kaisar Kristen ini menulis sebagai berikut; “Saya tidak begitu heran kalau melihat petapa yang meninggalkan kesenangan duniawi agar dapat fokus menyembah Tuhan. Namun, saya sungguh kagum menyaksikan seorang raja (pemimpin) yang bisa dengan mudahnya meraih berbagai kesenangan duniawi, tetapi ia malah menutup matanya rapat-rapat; ia hidup dalam kesalehan.”

    “Setelah Yesus, jika ada yang mampu menghidupkan kembali orang mati, Umar-lah orangnya.”

    Semoga sepenggal kisah Umar bin Abdul Aziz dapat memotivasi kita bersama, bahwa seorang pemimpin bukan hasil rekayasa atau karbitan, namun melalui proses panjang, terutama benih keteguhan iman dan rasa takut kepada Allah SWT.

    Mari kita berdoa kepada Sang Pengabul segala doa: semoga di negara kesatuan Republik Indonesia ini lahir pemimpin yang mumpuni, menjadi tauladan dalam ucapan, tindakan dan keputusan. Aamiin ya mujibassailiin. Wallahu a’lam bish-showab (*)

    Penulis : H. S. Makin Rahmat, SPd SH MH

    Sumber : WartaTransparansi.com

    COPYRIGHT © 2024 WartaTransparansi.com

    Berita Terkait

    Jangan Lewatkan