Penampilanya pun sepintas “sangar.” Padahal hatinya selembut salju. Dia mudah tersentuh melihat penderitaan orang. Dia juga selalu tersetuh melihat perjuangan hidup orang. Jika diperlukan Hance tak segan-segan mengulurkan tangannya, moral maupun matrial.
Sepanjang ingatan saya, Rosihan K Nurdin dari dulu sudah pekerja keras. Dia wartawan yang rajin, serius dan bertanggung jawab. Semua penugasan kepadanya diterima dan dilaksanakan dengan baik. Dia hampir tidak pernah gagal mendapat dan mewawancarai narasumber. Selain itu laporannya juga lengkap, serta yang penting tak pernah melewati dead line yang sudah ditentukan.
Kemana-mana dulu Rosihan senang menentang tustel. Tentu yang masih pakai film negatif dan masih manual. Dengan tuatel yang disandangnha, lengkaplah penampilannya benar-benar “asli wartawan.” Dan Rosihan bangga dengan profesi itu.
Setelah majalah Fokus dibredel, saya berpisah dengan Rosihan K Nurdin. Kami waktu itu benar-benar terpencar kemana-mana. Ada yang pindah profesi. Ada yang kembali ke profesil awal. Juga ada yang jadi penggguran dan sebagainya.
Saya mendengar, sebagaimana beberapa awak Fokus lainnya, Rosihan pun ditawari menjadi wartawan harian Bisnis Indonesia oleh Masmimar Mangiang. Sebagian wartawan Fokus memang lantas hijrah ke harian Bisnis Indonesia, termasuk Jacobus Blikilokong, Imam Barata dan lainnya.
Tapi Hance menampik kerja disana. Apalagi lantas diterima bekerja di majalah Gadis, yang pada zaman itu juga terbilang “top” untuk segmen para remaja putri. Di merasa majalah Gadis lebih dapat menyalurkan bakat dan aspirasinya. Di majalah Gadis itulah Rosihan berkarier sampai pesiun.
Adapun saya meneruskan pula karier sebagai wartawan dan advokat. Saya dari Fokus belerja di barian Prioritas, harian berwarna pertama di Republik Indonesia, sebagai redaktur pelaksana. Namun apa boleh buat, harian Prioritas pun dibredel okeh rezim Orde Baru dengan kaki tangan utama di bidang pers Harmoko. Rupanya sudah nasib saya “sering dibredel.” Maka saya mengerjitkan dahi, waktu ada seorang wartawan yang baru pertama kali, dan janya satu-satu kalinya, dibredel sudah merasa menjadi pahlawan pers seumur hidup. Sudah merasa menjadi “pejuang pers!!!”
Sejak Fokus ditutup saya hampir tak berkontak dengan Sobat Hance.
Maklumlah kala itu belum ada HP dan otonatis belum ada pila WAG. Walhasil , sangat sulit mengikuti kemana rekan-rekan kita berada, sekakigus menghilang kontak rutin sesama kita. Beda dengan sekarang, kawan dari SD, dan bahkan dari TK, dapat terus tersambung. Demikian pula hubungan saya dengan Rosihan boleh dibilang terputus total. Dalam artian tidak saling kontak.
Ketika saya ditunjuk menjadi advokat PWI Jaya Sie film, musik, seni dan kebudayaan menghadapi artis Dessy Ratnasari, sekarang anggota DPR, dan bersiap kemungkinan ditunjuk sebagai calon gubernur Jawa Barat, tetiba saya jumpa kembali dengan Rosihan K Nurdi.
Kala itu para wartawan merasa memiliki problem dengan Dessy Ratnasari. Para wartawan merasa Dessy sudah menghina profesi wartawan. Mereka menuntut agar Dessy meminta maaf. Sebagai advokat PWI Jaya Sie Film, Musik, Seni dan Kebudayaan, saya mengirim somasi ke Dessy untuk datang ke PWI dan meminta maaaf. Saya sekaligus membuat draf permintaaan maaf itu.
Dessy bersedia datang untuk meminta maaf. Nah, sewaktu Dessy datang ke kantor PWI Sie Film di kompleks perfilman Kuningan, sebelum menju venue tempat konprensi pers Desay membacakan permingaan maaf, rupanya Dessy secara khusus didampingi oleh Rosihan K. Nurdin. Ternayata Rosihan bersahabat dengan Dessy. Posisi Rosihan sebagai wartawan membuat Dessy lebih nyaman didamping sahabatnya itu di acara tersebut.
Lantaran saya mengenal Hamce, sebagai advokat saya tidak bertanya apa legal standing Rosihan menampingi Dessy. Saya juga dengan senang hati memperbolehkan Rosihan K. Nurdin masuk mendampingi Desy ke ruang yang tertutup buat wartawan sampai kepada acara jumpa persnya.
Selama mendampingi Desay, Hance tidak banyak bicara. Dia lebih banyak mengamati, dan siaga jika Dessy dizholomi. Namun lantatan semuanya berkalan profesional dan proposional, Rosihan tak banyak cakap.
Setelah itu kami tak lagi berjumpa. Maka terus terang saya tak mengenal isteri dan anaknya, karena sarana komunikasi kami hilang. Media sosial pun belum ada, sehingga sukit melacak keberadan sehari-hari masing-masing. Saya cuma tahu Rosihan masih bekerja di majalah Gadis. Samlai pensiun.
Saya beberapa kali menjadi pembicara soal hukum dan etik pers di “Femina Group,” induk usaha yang membawahi majalah Gadis, tapi kurang beruntung saya tidak sempat jumpa sobat Hance .
Setelah zaman HP tiba, kontek saya dengan Rosihan pun tersambung kembali. Beberapa kali melalui sambungan telepon tanp kabel itu kami bertukar sapa. Dan saat sobat Des Alwi membuat WAG khusus awak Fokos tahun 2018, Rosihan menjadi salah satu anggotanya. Begitu jug di beberapa WAG lainnya, misal WAG Musik dan Kita, saya dan Rosihan sama-sama menadi anggotanya. Maka tali silahturahni di antara kami pun otonatis tersambung lagi.
Tepat sebulan silam, 11 Desember 2023, Hance kirim Wa ke saya,
Assalamualaikum. Wina punya nomor kontak Mas Agus Darmawan, kritikus seni rupa? Nuhun _🙏🏼”
Belum sempat saya jawab, dia sudah mengirim WA susulan, “Punten Kang, saya sudah dapat dari Don WS.”
Itulah WA dan sekaligus percakapan terakhir antara saya dengan Hance. Tanggal 11 Januari saya membuka WA yang mewartakan Hance telah dipanggil menghadap Sang Khalik, Allah Yang Maha Kuasa. Tentu saya terkejut bukan alang kepalang.
Selama jalan Sobat Rosihan K. Nurdin. Selamat menempati dunia barumu yang indah di kepingan surga.
Dari dunia yang fana ini, saya mengulurkan tangan kepada Hamce seraya berujar, “Jabat erat, Hance.” (*)