Dia lantas menambahkan bahwa permasalahan utama yang muncul dari film “Dr. Samsi” ialah kualitas audio yang telah mengalami kerusakan cukup berat.
“Audio copy positif sudah washed out, sedangkan copy negatif tidak lengkap. Jadi, hasil restorasi kali ini ialah kombinasi dari semua materi tersebut,” terang dia.
Rizka menuturkan bahwa dalam pelaksanaannya, restorasi tidak mengenal durasi dan biaya karena proses tersebut sangat bergantung pada materi film yang didapatkan. Dalam tahap restorasi, tim melakukan pengumpulan data sebanyak mungkin yang bertujuan untuk mengembalikan keadaan film yang mendekati.
“Hasilnya tidak dapat kami lebihkan atau kurangi. Selain itu, penyakit yang ada di dalam materi film belum dapat terduga sampai kami membuka barangnya. Contohnya film ‘Tiga Dara’ yang direstorasi swasta, butuh waktu 13 bulan karena biayanya sudah berhenti juga,” tambah Rizka.
“Dr. Samsi” merupakan film restorasi kali kelima yang dilakukan pemerintah dalam upaya penyelamatan arsip-arsip film nasional. Sebelumnya, Kemendikbudristek telah melakukan restorasi sebanyak empat judul film yaitu “Darah dan Doa” (The Long March) karya Usmar Ismail produksi tahun 1950 dan direstorasi tahun 2013, “Pagar Kawat Berduri” karya Asrul Sani produksi tahun 1961 dan direstorasi tahun 2017, “Bintang Ketjil” karya Wim Umboh dan Misbach Yusa Biran produksi tahun 1963 dan direstorasi tahun 2018, dan “Kereta Api Terakhir” karya Mochtar Soemodimedjo produksi tahun 1981 dan direstorasi pada tahun 2019. (*)