“Ya, memang mas Anies secara argumentatif lebih bagus tapi yang jadi titik lemahnya, argumentasinya dipakai untuk menyerang dan mematahkan lawan. Padahal dalam konteks masyarakat indonesia yang high context, umumnya masyarakat tidak senang dengan model nyerang, strike,” tandas Surokim.
Jika performence itu dikembangkan maka akan dianggap show force dan nampak sombong. Sementara pak Prabowo harusnya lebih tenang lagi tidak terpancing emosi supaya tidak blunder. Mestinya Pak Prabowo fokus saja mengembangkan impresi dan simpati alias kurang santai.
Pihaknya melihat, secara umum mas Gnjar secara argumen memang tidak selihai mas Anies dalam beretorika, tapi secara isi lebih masuk akal.
Dalam catatan saya, kata Surokim, argumennya mas Ganjar sebenarnya lebih simpel dan sederhana, tapi masih terjebak juga untuk menyerang. Saya pikir itu perlu dikurangi juga. Jangan strike langsung nyalahkan dan nyerang sebab pemilih kita sekali lagi tidak seneng model model seperti itu.
Menurutnya, argumentatif tidak hrus mematahkan lawan sebab bagaimanapun ini hanya sekadar pangung impressi dan cari atensi serta simpati bukan untuk menang kalah. Juga bukan lomba retorika dan pidato.
“Panggung debat indonesia itu belum sepenuhnya bisa menerima model argumen negatif dan serangan ala ala strike gitu, apalagi cenderung personal. Karena budaya politik kita didominasi budaya jawa yang kuat, memegang teguh aspek mikul duwur mendem jeru,” Pungkas Surokim. (*)