“Bukan sekadar tutur lisan dan penghantar tidur untuk anak, ‘Bedindang Bedibuay’ merupakan cara-cara sederhana orang tua Tidung akan harapan baik di masa depan kepada anak,” kata Rohil.
Film ini mengadaptasi cerita latar belakang seniman asli kota Tarakan, Usman Najrid Maulana.
Saat konflik kepulangan lulusan sekolah seni ke kampung halaman, dihadapkan dengan tantangan melanjutkan kekaryaan.
“Ini merupakan cerita nelayan suku Tidung yang sangat sederhana ya, yang terinspirasi dari seniman Usman. Berlatar belakang keluarga nelayan suku Tidung, melibatkan konflik perempuan suku Tidung bergelar sarjana seni,” katanya.
Rencananya, film ini akan diproduksi pada minggu kedua di bulan Oktober nanti. Rohil menyebut, akan melibatkan puluhan kru dan penampilan kelompok Ina-ina Nurjalin milik Usman Najrid Maulana dari Paguntengara Artploration.
“Dari timeline, shooting dilaksanakan bulan depan. Semoga tidak meleset dari jadwal,” harapnya.
Selain itu, Sutradara Film “Bedindang Bedibuay”, Taufan Agustiyan, mengatakan, cerita tentang Bedindang Bedibuay ini tak lepas dari perjalanannya saat mengerjakan film dokumenter dan menjelajahi separuh lebih wilayah Nusantara.
“Perjalanan saya sebagai sutradara film dokumenter, menemui ragam seni budaya baik sifatnya atraktif, dekoratif, maupun naratif. Ada beberapa kesamaan di antara suku budaya di Indonesia, salah satunya seni tutur, baik berupa hikayat, macopat, dongeng, dan ragam bentuk lainnya yang memiliki pesan kuat dan filosofis sebagai pegangan tata nilai bermasyarakat,” imbuhnya.
“Bedindang Bedibuay” menurut Taufan, merupakan seni tutur suku Tidung yang menarik perhatiannya. Hal ini karena hikayat yang dilantunkan untuk menidurkan anak ialah upaya “menyelipkan” nilai leluhur kepada pikiran anak. (Antara)





