Kak Seto mengaku, dalam sesi diskusi itu, anak-anak Kota Surabaya yang telah menyadari bahwa bullying atau perundungan memberikan efek samping yang dapat mempengaruhi kesehatan mental bagi korban maupun pelaku.
“Bullying ini mungkin pernah dirasakan oleh mereka sehingga mereka berani bersuara. Moto melindungi anak adalah tanggung jawab kita, anak-anak wajib dilindungi dari berbagai tindak kekerasan. Baik di lingkungan rumah, sekolah, maupun di lingkungan masyarakat. Ini juga tanggung jawab bersama pemerintah dan aparat,” ungkap dia.
Kepala Kantor UNICEF untuk Wilayah Jawa, Tubagus Arie Rukmantara menyampaikan, Surabaya memiliki cara unik dalam merayakan kegiatan anak. Salah satunya adalah melalui pameran perdagangan SGE, dimana anak-anak ikut terlibat dalam gelaran kegiatan tersebut. Karenanya, ia menilai Kota Surabaya sebagai pusat kota percontohan di Indonesia dalam menyediakan ruang partisipasi bagi anak.
“Lalu bagaimana anak-anak bersama anak-anak sendiri menentukan solusi yang mereka bisa lakukan secara cepat. Ini adalah pameran perdagangan pertama yang melibatkan anak-anak hanya di SGE. Anak -anak berhasil menjadi pembicara, berdiskusi bersama anak-anak lainya menemukan solusi,” kata Arie.
Lewat talkshow bertemakan Pencegahan dan Penanganan Eksploitasi dan Kekerasan Seksual Anak di Ranah Daring (OCSEA/Online Child Sexual Exploitation and Abuse) ini, 500 lebih anak-anak telah hadir. Arie menjelaskan bahwa mereka ingin mengetahui informasi baru, berkenalan, dan berjejaring.
“Kita memberikan edukasi mengenai klasifikasi terkait apa yang disebut pelecehan seksual, penganiayaan seksual, penganiayaan atau bullying, dan penyalahgunaan kekerasan di ranah daring. Mana yang ancaman dan bukan ancaman, kalau terjadi harus kemana? Ternyata Pemkot Surabaya membuat sistem yang bisa dilaporkan lewat Puspaga, jadi anak-anak harus mengerti cara mengidentifikasi, memblokir konten, dan cara melaporkan,” tandasnya. (*)