Rabu, 4 Oktober 2023
27 C
Surabaya
More
    Renungan PagiNikmatnya Kemerdekaan (4)

    Nikmatnya Kemerdekaan (4)

    SEBELUM Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, kita sering semboyan kedigdayaan negara sebagai bangsa pelaut. “Nenek moyang kita dahulu adalah seorang pelaut.”

    Tentu bukan sekedar sebutan semata. Kebetulan secara teritorial 70 persen wilayah kedaulatan Indonesia berupa perairan (lautan, sungai dan rawa) sedang 30 persen merupakan daratan. Tentu, semua sepakat sebagai negara maritim merupakan wujud karunia Allah SWT yang harus dijaga kelestarian lingkungan, ekosistem dan sumber daya alam.

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maritim berkenaan dengan laut, dan berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Jelas Indonesia yang dilintasi garis khatulistiwa memiliki peranan penting sebagai tulang punggung eksistensi, dalam pengembangan suatu bangsa dan negara. Sebagai teritorial kekuatan maritim suatu negara, mencakup seluruh kemampuan dan potensi nasional dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia yang didasarkan kepada kondisi geografis teritorial.

    Sayangnya, Indonesia yang memiliki garis pantai terbesar kedua di dunia, sepanjang 95.181 km, sedang kawsan laut dengan luas 5,8 juta per kilometer persegi, Indonesia hanya mampu menempati peringkat kelima dalam ekspor perikanan di Asean. Tak hanya itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) dari sektor Perikanan hanya mampu menyumbang tidak lebih dari Rp 250 miliar.

    Mengapa potensi begitu dahsyat belum maksimal. Atau orang yang ahli di bidang maritim, kelautan dan perikanan belum serius menggarap potensi sebagai negara maritim. Sampai sejauh mana nilai syukur kita terhadap segala sumber kekayaan alam yang sangat melimpah. Tentu kembali kepada pemegang kekuasaan, bisa mengelola aset luar biasa demi kemakmuran rakyat dan bangsa?

    Kita harus telaah firman Allah SWT dalam QS Al Jasiyah Ayat 65:
    اَللّٰهُ الَّذِيْ سَخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيْهِ بِاَمْرِهٖ وَلِتَبْتَغُوْا مِنْ فَضْلِهٖ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَۚ
    “Allahlah yang telah menundukkan laut untukmu agar kapal-kapal dapat berlayar di atasnya dengan perintah-Nya, agar kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur.”

    Berpatokan pada ayat ini, merupakan wujud nyata ketegasan Allah SWT mengenai kuasaNya atas seluruh alam semesta. Manusia tidak akan bisa berbuat apa-apa, jika Allah SWT tidak berkehendak. Oleh karena itu, perlu kiranya untuk senantiasa memanjatkan rasa syukur terus berikhtiar mengelola. Sekali lagi, kalau hanya menjual aset bangsa dan mengundang penjajah datang untuk ekspansi, bukankah kita sebagai pendusta atas segala nikmatNya.

    Jujur dari kondisi saat ini, kita kehilangan sosok panutan. Bila bersandar pada kamus kehidupan yaitu firman-firman Allah yang terkandung dalam Al Qur’an dan hadis Rasulullah, tentulah kita bisa mengambil hikmah, muhasabah, bercermin dari, bahwa saatnya bertekad dengan niat, disertai tindakan, dan wujud kepedulian terhadap umat.

    Semestinya peringatan sang Khaliq tentang keteladanan keluarga Lukman mendahulukan kepentingan Allah SWT daripada kepentingan yang lain.

    Karena butiran hikmah itu akan terurai dari proses panjang adanya pengorbanan, ikhtiar, berjuang dan kepedulian. Setidaknya, QS
    Luqman Ayat 12 yang berbunyi:
    وَلَقَدْ اٰتَيْنَا لُقْمٰنَ الْحِكْمَةَ اَنِ اشْكُرْ لِلّٰهِ ۗوَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ
    “Sungguh, Kami benar-benar telah memberikan hikmah kepada Luqman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah! Siapa yang bersyukur, sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri. Siapa yang kufur (tidak bersyukur), sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.”

    Secara keseluruhan, surat ini menjelaskan mengenai betapa dzalimnya perbuatan mempersekutukan Allah SWT. Sebagai umat muslim yang beriman, seharusnya kita tunduk dan berserah diri kepada Allah SWT. Itulah yang dinamakan bersyukur.

    Syukur bukan sekedar berucap secara lisan: Alhamdulillah, tapi bentuk sinkronisasi ucapan, tindakan, perbuatan dan memiliki daya dobrak memberikan impact adanya nikmat kemerdekaan yang sesungguhnya, yaitu terbebas dari rasa takut dan kelaparan.

    Faktanya, penguasa yaitu pemerintah pusat masih berebut kue rejeki kepentingan dengan pemerintah daerah, yaitu terkait kewenangan zona 0-12 mil. Bagaimana bisa menjaga kedaulatan, kalau masih berebut “tulang” hak anak cucu.

    Bila negara Indonesia benar-benar ingin menjadi poros maritim dunia sepatutnya memahami
    budaya maritim, sumber daya maritim, infrastruktur dan konektivitas maritim, diplomasi maritim, dan pertahanan maritim. Kalau penguasa sibuk memperkaya diri sendiri, maka hancurlah kedaulatan negara ini. Wallahu a’lam bish-showab. (*)

    Penulis : HS Makin Rahmat: Santri Pinggiran, Wartawan UKW Utama dan Ketua SMSI Jatim.

    Sumber : WartaTransparansi.com

    Berita Terkait

    Jangan Lewatkan