Oleh: Wetly
KEBIJAKAN sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) kembali menuai polemik. Muncul protes di berbagai daerah. Antaranya, mempermasalahkan jarak rumah ke sekolah, indikasi kecurangan pihak sekolah, praktik titip kartu keluarga (KK) untuk memalsukan alamat rumah (domisili) agar lolos verifikasi, hingga adanya desakan untuk mengubah atau merevisi sistem zonasi.
Protes, tidak hanya dari orang tua siswa, juga dilakukan para anggota parlemen, dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) yang pada Rakernas ke-XVI APEKSI di Kota Makassar pada 10-14 Juli 2023, resmi meminta pemerintah pusat mengevaluasi sistem zonasi PPDB.
Semua kepala daerah waktu APEKSI mengatakan termasuk (sistem) zonasi ini agar dapat dievaluasi. “Karena apa? Zonasi ini kan ada yang jaraknya dekat, karena kami (pemerintah daerah) belum siap untuk semua kecamatan ada sekolah SD, SMP, SMA,” begitu Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi.
Aturan sistem zonasi tertuang dalam Permendikbud 1/2021 tentang PPDB pada TK, SD, SMP, SMA, SMK. Jika berpedoman pada sistem zonasi, anak di dalam sebuah kelurahan akan sulit masuk ke sekolah negeri yang ada di wilayah lain. Sebab, anak itu bakal tergeser calon peserta didik lain yang domisilinya lebih dekat dengan sekolah tersebut.
“Jadi kalau (dibuat kuota) 20 persen kelurahan, 20 persen kecamatan, salah, di-loss ya salah. Itu akhirnya semua kepala daerah kemarin (Rakernas APEKSI) menyampaikan,” tandas Eri.
Sistem zonasi PPDB merupakan jalur pendaftaran bagi siswa sesuai dengan ketentuan wilayah zonasi domisili yang ditentukan pemerintah daerah. Dicetus dan diwariskan mantan Mendikbud Muhadjir Effendy yang sekarang menjabat Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Pertama kali diperkenalkan ke publik pada 2016 dan berlaku secara efektif pada 2017.
Mengutip liputan6.com (Mei 2019), Muhadjir menyebut, sistem zonasi PPDB akan memeratakan kualitas sekolah di Indonesia. Pemerataan ini terjadi karena tidak ada lagi status “sekolah unggulan”. Dengan dihapusnya label sekolah favorit, itu akan membuat sekolah punya status dan kualitas yang sama.
Dalam penerapan sistem zonasi PPDB, setiap sekolah disebut “mempunyai standar minimum yang sama,” baik dari segi pengajaran maupun fasilitas. “Yang favorit itu harus anak. Jadi setiap sekolah, semua sekolah nanti harus bagus, harus favorit. Standar pelayanan minimum harus terpenuhi”.
Saat posisi Mendikbud ditempati Nadiem Makarim di tahun 2019, Muhadjir pun berpesan bahwa terkait sistem zonasi, bisa dievaluasi, mana yang bisa dilanjutkan, mana perlu diperbarui dan diubah.
Sejatinya, sistem zonasi PPDB sejak lama telah dipermasalahkan di berbagai daerah. Tetapi, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim, tetap melanjutkannya dengan mengubah beberapa poin kebijakan yang dia sebut “lebih fleksibel” untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas pendidikan di berbagai daerah.
Yakni, di kebijakan sistem zonasi lama, porsi jalur prestasi di setiap sekolah hanya 15 persen, diubah jadi hingga 30 persen.
Untuk penerimaan siswa jalur sistem zonasi, kuotanya minimal 50 persen. Artinya, sekolah harus mengakomodasi setidaknya 50 persen siswa dari zonasinya untuk bisa bersekolah di tempat mereka.
Sementara, untuk jalur afirmasi adalah 15 persen, dan 5 persennya adalah siswa pindahan dari zonasi lain. Afirmasi adalah mereka yang mempunyai Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Nadiem mengklaim bahwa komposisi seperti itu merupakan kompromi antara orangtua murid dengan pemerintah.
Kini, ketika sistem zonasi kembali berada tepat di tengah polemik, alih-alih memberikan keterangan resmi untuk mengurai sengkarut yang ada, Menteri Nadiem malah bungkam. Masih puasa bicara. Belum secara terbuka mengomentari sistem zonasi PPDB yang dianggap bermasalah di berbagai daerah.
Sepatutnya, sebagai ‘pemilik’ kebijakan sistem zonasi PPDB, Mendikbudristek Nadiem Makarim, secara terbuka memberikan keterangan atas terjadinya polemik saat ini.
Sadar atau tidak, kebijakan sistem zonasi telah melahirkan polemik berkepanjangan. Akibatnya, akses memperoleh pendidikan semakin sulit diperoleh masyarakat.
Seharusnya sistem zonasi diatur dengan mempertimbangkan situasi pendukung sekolah sekaligus berkolaborasi dengan tiap-tiap dinas pendidikan daerah, sehingga implementasinya tidak salah kaprah dan tidak membuka celah kecurangan.
Sejak kebijakan sistem zonasi itu diperkenalkan tahun 2016 dan diterapkan tahun 2017, tampaknya belum bisa menghasilkan dampak maksimal terhadap peraturan Permendikbud 1/2021 tentang PPDB.
Tak ada ruginya dilakukan evaluasi dengan melibatkan semua komponen terkait lainnya untuk memperbaiki kebijakan PPDB yang lebih baik. Pemerataan pendidikan akan mencipatkan SDM unggul, berkualitas untuk Indonesia. Itulah tujuan utama “Sistem Zonasi PPDB”. (*)