Tajuk  

Polemik di Tengah Zonasi PPDB

Polemik di Tengah Zonasi PPDB
Wetly

Yakni, di kebijakan sistem zonasi lama, porsi jalur prestasi di setiap sekolah hanya 15 persen, diubah jadi hingga 30 persen.

Untuk penerimaan siswa jalur sistem zonasi, kuotanya minimal 50 persen. Artinya, sekolah harus mengakomodasi setidaknya 50 persen siswa dari zonasinya untuk bisa bersekolah di tempat mereka.

Sementara, untuk jalur afirmasi adalah 15 persen, dan 5 persennya adalah siswa pindahan dari zonasi lain. Afirmasi adalah mereka yang mempunyai Kartu Indonesia Pintar (KIP).

Nadiem mengklaim bahwa komposisi seperti itu merupakan kompromi antara orangtua murid dengan pemerintah.

Kini, ketika sistem zonasi kembali berada tepat di tengah polemik, alih-alih memberikan keterangan resmi untuk mengurai sengkarut yang ada, Menteri Nadiem malah bungkam. Masih puasa bicara. Belum secara terbuka mengomentari sistem zonasi PPDB yang dianggap bermasalah di berbagai daerah.

Sepatutnya, sebagai ‘pemilik’ kebijakan sistem zonasi PPDB, Mendikbudristek Nadiem Makarim, secara terbuka memberikan keterangan atas terjadinya polemik saat ini.

Sadar atau tidak, kebijakan sistem zonasi telah melahirkan polemik berkepanjangan. Akibatnya, akses memperoleh pendidikan semakin sulit diperoleh masyarakat.

Seharusnya sistem zonasi diatur dengan mempertimbangkan situasi pendukung sekolah sekaligus berkolaborasi dengan tiap-tiap dinas pendidikan daerah, sehingga implementasinya tidak salah kaprah dan tidak membuka celah kecurangan.

Sejak kebijakan sistem zonasi itu diperkenalkan tahun 2016 dan diterapkan tahun 2017, tampaknya belum bisa menghasilkan dampak maksimal terhadap peraturan Permendikbud 1/2021 tentang PPDB.

Tak ada ruginya dilakukan evaluasi dengan melibatkan semua komponen terkait lainnya untuk memperbaiki kebijakan PPDB yang lebih baik. Pemerataan pendidikan akan mencipatkan SDM unggul, berkualitas untuk Indonesia. Itulah tujuan utama “Sistem Zonasi PPDB”. (*)