Catatan Hendry Ch Bangun
Pekan lalu, tepatnya Kamis 22 Juni, mantan Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama mengritik pers barat yang lebih banyak memberitakan hilangnya kapal selam Titan ketimbang kematian ratusan pengungsi berperahu yang ingin mendarat di pantai Yunani.
Berbicara di event yang diadakan Stavros Narchos Foundation Cultural Centre, di Yunani, Presiden AS ke-44 itu menekankan pentingnya memberitakan hal terkait imigran yang berjuang untuk mencapai kehidupan yang lebih baik namun disambut dengan kematian.
Dia mengakui bahwa upaya penyelamatan kapal selam, yang akhirnya ditemukan pecah meledak di bawah laut dan semua penumpangnya tewas, memang penting. Tetapi tidak masuk akal bahwa berita kematian ratusan imigram seperti tidak diperhatikan.
Kecaman tajamnya itu seperti sejalan dengan pikiran dan perasaan peserta yang hadir di acara itu, sehingga tantangannya mendapat aplaus yang hangat. Dalam keterangan sehabis acara dia kembali menekannya nyawa ratusan orang, yang pada ujungnya sebenarnya terjadi akibat tingginya disparitas/kesenjangan antara satu tempat dengan yang lain.
Para korban yang terdiri dari orang tua, perempuan, dan anak-anak berjumlah sekitar 750 orang sebagian besar dari Pakistan, Suriah, dan Mesir. Memang ada yang selamat tetapi sebagian besar kehilangan nyawa. Sebagaimana selama ini terjadi, mereka menyeberang dari Afrika, dan pada umumnya dimintai bayaran yang tinggi untuk ikut berlayar menuju tanah harapan.
Sementara korban Titan sebanyak 5 orang adalah orang berduit, pemilik perusahaan itu sendiri milyuner AS, Stockton Rush, pengusaha yang juga petualang ekstrem, Hamish Harding peneliti Titanic asal Perancis, Paul Henri Nargeolet, dan milyuner Inggris keturunan Pakistan, Shazada Dawood bersama anaknya Sulaeman Dawood.
Mereka memang punya nama yang punya nilai berita tinggi. Kegiatan untuk menengok Titanic yang tenggelam puluhan tahun lalu di Atlantik Utara memang banyak dipublikasi sehingga beritanya semakin besar ketika mengalami tragedi, mulai dari hilang sampai diketemukan dalam kondisi pecah. ***
Tewasnya imigran dari Afrika di tengah laut sebelum mencapai daratan Eropa, sudah berlangsung bertahun-tahun, dan bahkan sempat menjadi krisis di benua biru itu. Beberapa negara sempat menutup berbatasannya karena mereka menjadi tujuan favorit pengungsi, sementara negara lain yang kurang menjanjikan membiarkan saja perbatasan mereka dimasuki tokh hanya perlintasan.
Kejadian berulang-ulang inilah yang barangkali membuat imigram mati tenggelam tidak lagi memiliki “news value” bagi media-media besar di Eropa dan bahkan dunia. Dan sudah puluhan ribu barangkali yang mati tenggelam. Apalagi seperti tidak ada solusi yang jelas, perdebatan tidak pernah selesai, yang ada adalah penolakan dari negara yang menjadi tujuan akhir.
Pers Indonesia yang jauh dari peristiwa termasuk jarang memberitakannya. Kecuali terjadi sesuatu yang luar biasa dan menjadi pemberitaan besar di jaringan media internasional, maka bisa jadi ikut memuatnya. Setelah itu hilang lagi. Sesuai hukum jurnalistik, tidak adanya proximity membuat pengungsian di Eropa sana tidak menarik bagi pers Indonesia.
Bahkan gelombang pengungsi dari Myanmar yang bertubi-tubi masuk ke provinsi Aceh pun, tidak selalu menjadi liputan nasional. Hanya banyak menjadi berita di media setempat. Agak berbeda ketika arus pengungsi dari Vietnam dulu menyerbu Indonesia sampai akhirnya ditempatkan di Pulau Galang, ramai karena menjadi liputan media internasional.
Tetapi bagaimana dengan hati nurani kita? Bagaimana kita melihat perjuangan hidup orang susah, orang miskin, yang berjuang sampai kehilangan nyawa untuk mendapatkan dunia baru yang lebih baik? Apakah nyawa tidak lagi berarti?
Kematian saat berjuang untuk hidup lebih baik seharusnya menjadi bahan berita yang penting, selain juga menyentuh rasa kemanusiaan kita, sangat memenuhi unsur human interest. Tetapi mari kita lihat produk jurnalistik di media arus utama, apakah hal-hal seperti itu sering muncul? Tampaknya memang tidak, kalaupun ada sangat sedikit.





