Itulah satu-satunya jabatan organisasi yang diemban Imam Utomo. Ia menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan. Tidak ada tanda-tanda post-power syndrom sedikitpun pada diri Imam Utomo. Setiap subuh ia berjalan kaki menuju masjid untuk sholat berjemaah.
Setiap Sabtu dan Minggu subuh, Masjid Nurul Iman lebih ramai dibanding hari-hari kerja. Setelah jemaah subuh acara dilanjutkan dengan tausiah dan dilanjut dengan sarapan pagi bersama. Saat itulah Imam Utomo duduk lesehan di teras masjid bersama jemaah menikmati sarapan, menikmati kopi dan kue-kue.
Imam Utomo menjalani masa purna tugas dengan sikap sumeleh. Ia sudah menjalani seluruh episode hidupnya. Karir militernya yang panjang menjadikannya seorang ksatria yang mengabdi kepada negara dengan profesionalisme tinggi.
Sebagai seorang jenderal militer, Imam Utomo menunjukkan kualitas seorang ksatria Jawa yang sempurna, menjalankan tugas dengan menjunjung tinggi Sapta Marga sebagai bagian dari sumpah prajurit dan kewajiban seorang kstaria untuk melaksanakan dharma.
Dari jabatan militer, Imam Utomo kemudian menjadi gubernur yang membawanya menjadi seorang pemimpin, seorang prabu, di keprabon Jawa Timur. Selama 10 tahun memimpin Imam Utomo menjadi pengayom bagi semua kekuatan sosial-politik yang ada di Jawa Timur. Pengayoman itulah yang menjadikan Jawa Timur selalu tenang melewati masa-masa yang penuh gejolak.
Imam Utomo lahir dari lingkungan keluarga Jawa yang mencintai budaya Jawa. Dalam keluarganya juga kental tradisi santri karena lingkungannya di Jombang adalah lingkungan santri. Banyak orang menyebut Jombang adalah akronim dari kata “ijo” dan “abang” artinya hijau dan merah. Hijau adalah simbol religiusitas santri dan merah adalah simbol nasionalisme.
Abang juga identik dengan “abangan”, yaitu sebutan untuk orang-orang Jawa yang mempraktikkan agama Islam secara sinkretis dengan memadukan Islam dengan mistisisme budaya Jawa yang dipengaruhi Hindu.
Ijo dan abang itu ada pada karakter Imam Utomo. Dia seorang nasionalis tulen. Hal itu dia buktikan selama mengabdi sebagai tentara dan ketika mengemban amanat sebagai Gubernur Jawa Timur. Ia juga menjalankan agama dengan tekun. Ia orang Jawa yang santri. Ia menyukai wayang dan keris sebagai bagian dari upaya “ngugemi” dan “nguri-nguri” budaya Jawa, tetapi dia juga taat menjalankan syariah agama.
Dalam konsep Jawa tujuan hidup seorang manusia adalah menuju “sangkan paraning dumadi”, menuju pada kesempurnaan hidup dan kembali kepada Dzat Pemilik Kehidupan. Dumadi berasal dari kata “dadi” (jadi) yang ditambah dengan selipan “um” menjadi “dumadi”, artinya “menjadi”. Ada proses dalam perjalanan hidup manusia Jawa sebelum “dumadi” menyatu dengan yang Ilahi.
Imam Utomo mengidolakan tokoh pewayangan Werkudara yang tinggi besar, gagah perkasa, dan jujur dalam berbicara dan bersikap. Dalam lakon “Dewa Ruci”, Werkudara mengembara sampai ke dasar laut untuk mencari “tirta purwitasari”, air kehidupan yang menjadi lambang hikmah dan kebenaran sejati.
Pada akhirnya kebenaran sejati ada pada diri sendiri, menyatu dengan kebenaran Tuhan, Manunggaling Kawula-Gusti, Wihdatul Wujud, menyatunya hamba dengan Tuhan. Imam Utomo sudah menapaki perjalanan hidupnya selama 80 tahun. Dia sudah menjalani kehidupannya menuju proses “dumadi”, menjadi manusia paripurna. (*)
*) Dhimam Abror (Wartawan senior, mantan Ketua PWI Jatim, Doktor Ilmu Komunikasi Unpad, dan Wakil Ketua Yayasan Masjid Nurul Iman, Mergorejo Indah, Surabaya)